Negeri 1001 impor. Mungkin ini istilah yang ‘lebay’, atau melebihi takaran. Tapi rasa cinta itu memang harus dinyatakan, jadi harus lebay. Karena tulisan ini memang demi rasa cinta pada negeri kita. Rasa cinta yang sudah tak ada dalam dada-dada para penguasa. Dimana nyata-nyata mereka telah menyerahkan hati dan akalnya untuk menghamba pada pengusaha. Tatkala tangan-tangan durjananya mengemis kepada para pemilik modal, swasta dalam negeri maupun luar negeri (asing).
Lihatlah, betapa sampai hati pemerintah mengeluarkan izin impor cangkul. Tidak cukupkah impor-impor yang lain? Beras, gula, kentang, bawang merah, bawang putih, ikan kembung, garam, wortel, daging, buah-buahan. Belum lagi dengan bahan-bahan kelengkapan pertanian seperti pupuk, obat-obatan tanaman pangan, obat-obatan penyakit hewan, dan kawan-kawan. Itu produk impor yang bisa tercatat.
Jujur, publik sangat terhentak dengan kabar impor cangkul. Salah satu alsintan yang cukup asasi bagi petani. Alat yang sebenarnya di dalam negeri juga bisa diproduksi, yang menurut Kementerian Perindustrian produksinya melalui industri kecil dan menengah (IKM). Masuk akal, asal pemerintahnya bersedia mengakomodasi secara berkesinambungan.
Selain cangkul, masih lebih banyak lagi produk selain hasil pertanian yang diimpor yang mungkin tidak sempat kita catat. Coba saja sebutkan, peniti, gunting, pulpen, alat makan, mainan anak-anak, ponsel pintar, kereta commuter line, bis transjakarta, dan entah apa lagi yang lain. Yah, akhirnya maklum jika memang salah satu julukan negeri ini bertambah, yakni negeri 1001 impor.
Betapa instan pola pikir dan tata kelola pertanian negeri agraris kita ini. Selama bisa beli, mengapa harus produksi sendiri? Benar-benar paradigma yang menyesatkan.
Tengoklah, pada saat yang sama, Freeport makin mulus merampok emas di Papua, Newmont makin lancar menambang di Nusa Tenggara, Exxon Mobile makin asyik menyedot minyak di Cepu, Chevron makin ganas menggerogoti bumi Sumatera dan Kalimantan. Blok Mahakam, blok Masela, semua untuk siapa sekarang? Juga para pengembang yang makin melenggang dengan pulau garapan reklamasi, ditambah bisnis properti mewah dan adikarya di ibukota.
Abraham Samad ketika masih menjadi Ketua KPK pernah mengungkap data, ada Rp 7.200 triliun potensi pendapatan negara yang hilang setiap tahun. Menurutnya, dari 45 blok minyak dan gas saat ini, sebanyak 70% dikuasai oleh asing. Parahnya, banyak pengusaha tambang di Indonesia yang tak membayar pajak dan royalti kepada negara. Ia juga mengatakan, jika ditotal, maka pajak dan royalti yang dibayarkan dari blok migas, batu bara, dan nikel pada setiap tahunnya dapat mencapai Rp 20.000 triliun. Jika pendapatan tersebut dibagi ke seluruh rakyat, maka pendapatan rakyat Indonesia per bulan bisa mencapai Rp 20 juta.
Jadi, apakah negara seperti ini layak disebut miskin sumberdaya? Miskin visi tepatnya. Ya tidak heran.
Di satu sisi, negara fokus cari uang di tengah defisitnya APBN. Target penerimaan yang dicanangkan sangat ambisius. Dalam APBN 2016, pemerintah menargetkan pendapatan sebesar Rp 1.822,5 triliun. Target ini bersumber dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.546,7 triliun dan PNBP sebesar Rp 273,8 triliun. Pengalaman tahun lalu, penerimaan dari pajak meleset. Dari target Rp 1.294,25 triliun, hanya tercapai Rp 1.055 triliun (81,5% dari target). Dan akhirnya, muncullah kebijakan Tax Amnesty sebagai solusi kepanikan negara. Karena, salah satu jalan mendapatkan pundi-pundi uang adalah menggaet para konglomerat hitam yang sering memarkir hartanya di luar negeri, agar hartanya ditarik ke dalam negeri.
Sementara di sisi lain, ada segerombolan perusahan multinasional yang dengan enaknya menguras isi perut ibu pertiwi. Sangat kontradiktif.
Atas legalisasi dari siapa para pemodal itu, yang mereka dengan pongah menjarah tanah-tanah yang sebenarnya bisa dikelola oleh negara, untuk rakyat? Legalisasi tersebut jelas-jelas tidak berpihak pada penduduk asli yang bertumpah darah di tanah air ini. Kalau sudah begitu, rakyat bisa apa?
Sedih sangat menuliskan berbagai ketimpangan yang terjadi. Pedih nian menyaksikan makin terpuruknya rakyat di tengah para pejabat yang berlomba memperkaya diri.
Andai saja pemerintah sadar betul perannya sebagai pengurus dan penanggung jawab pengelolaan negara, tentu semua urusan berasa mudah. Karena niat utamanya sudah tepat. Beda halnya jika pemerintah tak mau sadar akan perannya, melainkan mementingkan segelintir pihak yang disebut sebagai pemilik kapital, yang atas nama sistem aturan di negeri ini mereka menjadi “halal” untuk berbuat apa saja. Bahkan meski itu harus menjajah, merusak, merampok, dan menjarah. Oh negeriku, begitu carut-marutnya dirimu. Apakah pemerintah yang seperti ini yang dikatakan punya rasa cinta pada negeri? Nol besar rasanya.
Andai kebijakan pemerintah di bidang pertanian memang berpihak pada kemakmuran, seyogyanya ada dua hal yang harus menjadi fokus pengelolaan. Yang pertama intensifikasi pertanian, dan yang kedua ekstensifikasi pertanian.
Intensifikasi pertanian dicapai dengan menggunakan obat-obatan, penyebarluasan teknik-teknik modern di kalangan para petani, dan membantu pengadaan benih serta budidayanya. Dalam hal ini negara jelas berperan besar memberikan modal yang diperlukan bagi petani tidak mampu (miskin) dengan status hibah, bukan hutang. Ini supaya mereka dapat membeli apa yang mereka butuhkan, seperti peralatan bertani, benih, juga obat-obatan untuk meningkatkan produksi. Disamping itu, negara berperan secara efektif dan efisien mendorong para petani yang mampu (kaya) agar membeli hal yang sama.
Menilik visi intensifikasi pertanian tersebut, ketersediaan peralatan bertani memang harus ada andil dari pemerintah sebagai bagian dari aktivitas mengurusi dan menanggungjawabi urusan rakyat. Termasuk keberadaan cangkul, itu juga menjadi tanggung jawab negara. Pun proses penyediaannya jangan melulu impor. Bolehlah impor, ketika di dalam negeri tak mampu produksi. Sementara ini, produksi cangkul dalam negeri justru kurang diperhatikan.
Meski pemerintah tetap berdalih bahwa jumlah impor cangkulnya tidak signifikan, yaitu hanya 86 ribu dari kebutuhan sebanyak 10 juta cangkul. Jika memang hanya perlu sesedikit itu (86 ribu), mengapa tidak lebih baik sedikit menggenjot produksi dalam negeri saja? Dibandingkan impor, bukankah lebih baik mengembangkan dan memodali industri cangkul di dalam negeri? Tapi yah ibarat kata, pada faktanya pemerintah memang ‘lebih suka’ impor.
Selain intensifikasi, pertanian juga didukung oleh program ekstensifikasi. Program ini dicapai dengan mendorong agar menghidupkan tanah mati dan memagarinya. Bisa juga dengan memberikan tanah secara cuma-cuma oleh negara bagi mereka yang mampu bertani namun tidak memiliki tanah, mereka yang memiliki area tanah sempit, dan termasuk tanah yang berada di bawah kekuasaannya. Negara juga akan mengambil alih kepemilikan tanah dari orang-orang yang menelantarkan tanahnya selama tiga tahun berturut-turut.
Dengan demikian menjadi sangat urgen, bahwa untuk meningkatkan peran strategis sektor pertanian memang harus kembali pada negara dan sistem peraturan yang ditegakkan oleh negara tersebut. Kewenangannya sebagai pemegang kebijakan, tidak layak dan tidak semestinya menjadikan negara hanya sebagai fasilitator atau makelar bagi para pemilik modal. Negara sebagai fasilitator/makelar hanya ditemukan dalam kondisi sebagai negara yang sektor politik dan ekonominya terjajah. Dimana posisinya terhadap negara-negara maju adalah asimetris (tidak seimbang).
Peran sejati negara adalah pengurus dan penanggung jawab bagi rakyat, bukan pemangku kepentingan pemilik modal. Nah, jika negara dan sistem peraturannya sudah benar dan layak, maka bolehlah kita bervisi-misi besar. Bahwa dalam rangka menuju negeri berdaulat dan mandiri pangan, kita tidak boleh menjadi negara tak bernyali yang hanya berani impor. Terkhusus bagi generasi muda, jangan malu jadi petani. Malulah ketika segala rupa hasil pertanian kita impor. Apalagi sampai berjuluk ‘negeri 1001 impor’.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H