Mohon tunggu...
Nindira Aryudhani
Nindira Aryudhani Mohon Tunggu... Full time mom and housewife -

Full Time Mom and Housewife

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negeri 1001 Impor

12 November 2016   23:22 Diperbarui: 13 November 2016   00:09 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedih sangat menuliskan berbagai ketimpangan yang terjadi. Pedih nian menyaksikan makin terpuruknya rakyat di tengah para pejabat yang berlomba memperkaya diri.

Andai saja pemerintah sadar betul perannya sebagai pengurus dan penanggung jawab pengelolaan negara, tentu semua urusan berasa mudah. Karena niat utamanya sudah tepat. Beda halnya jika pemerintah tak mau sadar akan perannya, melainkan mementingkan segelintir pihak yang disebut sebagai pemilik kapital, yang atas nama sistem aturan di negeri ini mereka menjadi “halal” untuk berbuat apa saja. Bahkan meski itu harus menjajah, merusak, merampok, dan menjarah. Oh negeriku, begitu carut-marutnya dirimu. Apakah pemerintah yang seperti ini yang dikatakan punya rasa cinta pada negeri? Nol besar rasanya.

Andai kebijakan pemerintah di bidang pertanian memang berpihak pada kemakmuran, seyogyanya ada dua hal yang harus menjadi fokus pengelolaan. Yang pertama intensifikasi pertanian, dan yang kedua ekstensifikasi pertanian.

Intensifikasi pertanian dicapai dengan menggunakan obat-obatan, penyebarluasan teknik-teknik modern di kalangan para petani, dan membantu pengadaan benih serta budidayanya. Dalam hal ini negara jelas berperan besar memberikan modal yang diperlukan bagi petani tidak mampu (miskin) dengan status hibah, bukan hutang. Ini supaya mereka dapat membeli apa yang mereka butuhkan, seperti peralatan bertani, benih, juga obat-obatan untuk meningkatkan produksi. Disamping itu, negara berperan secara efektif dan efisien mendorong para petani yang mampu (kaya) agar membeli hal yang sama.

Menilik visi intensifikasi pertanian tersebut, ketersediaan peralatan bertani memang harus ada andil dari pemerintah sebagai bagian dari aktivitas mengurusi dan menanggungjawabi urusan rakyat. Termasuk keberadaan cangkul, itu juga menjadi tanggung jawab negara. Pun proses penyediaannya jangan melulu impor. Bolehlah impor, ketika di dalam negeri tak mampu produksi. Sementara ini, produksi cangkul dalam negeri justru kurang diperhatikan.

Meski pemerintah tetap berdalih bahwa jumlah impor cangkulnya tidak signifikan, yaitu hanya 86 ribu dari kebutuhan sebanyak 10 juta cangkul. Jika memang hanya perlu sesedikit itu (86 ribu), mengapa tidak lebih baik sedikit menggenjot produksi dalam negeri saja? Dibandingkan impor, bukankah lebih baik mengembangkan dan memodali industri cangkul di dalam negeri? Tapi yah ibarat kata, pada faktanya pemerintah memang ‘lebih suka’ impor.

Selain intensifikasi, pertanian juga didukung oleh program ekstensifikasi. Program ini dicapai dengan mendorong agar menghidupkan tanah mati dan memagarinya. Bisa juga dengan memberikan tanah secara cuma-cuma oleh negara bagi mereka yang mampu bertani namun tidak memiliki tanah, mereka yang memiliki area tanah sempit, dan termasuk tanah yang berada di bawah kekuasaannya. Negara juga akan mengambil alih kepemilikan tanah dari orang-orang yang menelantarkan tanahnya selama tiga tahun berturut-turut.

Dengan demikian menjadi sangat urgen, bahwa untuk meningkatkan peran strategis sektor pertanian memang harus kembali pada negara dan sistem peraturan yang ditegakkan oleh negara tersebut. Kewenangannya sebagai pemegang kebijakan, tidak layak dan tidak semestinya menjadikan negara hanya sebagai fasilitator atau makelar bagi para pemilik modal. Negara sebagai fasilitator/makelar hanya ditemukan dalam kondisi sebagai negara yang sektor politik dan ekonominya terjajah. Dimana posisinya terhadap negara-negara maju adalah asimetris (tidak seimbang).

Peran sejati negara adalah pengurus dan penanggung jawab bagi rakyat, bukan pemangku kepentingan pemilik modal. Nah, jika negara dan sistem peraturannya sudah benar dan layak, maka bolehlah kita bervisi-misi besar. Bahwa dalam rangka menuju negeri berdaulat dan mandiri pangan, kita tidak boleh menjadi negara tak bernyali yang hanya berani impor. Terkhusus bagi generasi muda, jangan malu jadi petani. Malulah ketika segala rupa hasil pertanian kita impor. Apalagi sampai berjuluk ‘negeri 1001 impor’.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun