Mohon tunggu...
Ninda Ardhita
Ninda Ardhita Mohon Tunggu... Novelis - Pecinta Sastra

Penulis Fiksi, Tips, Fashion, Binatang, Kosmos, dan Sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bunga

3 Desember 2023   21:40 Diperbarui: 3 Desember 2023   21:44 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta, 17 Januari 1999
Dewa Abiyasa

Sebuah kuali kecil berisi sop iga sapi kuletakkan di atas meja makan sederhana ini. Lengkap dengan sambal goreng kentang dan telur dadar. Menu makan siang yang membuat siapapun menelan ludahnya hanya dengan mencium harumnya masakan yang baru saja kubuat dengan istriku.

Aku berjalan ke arah jendela, duduk di kursi sambil mengamati keadaan alam di luar sana. Kuhirup udara hangat siang hari ini. Begitu cerah dan menyenangkan lubuk hati. Ini merupakan kegiatanku saat menikmati libur dari pekerjaanku sebagai seorang wartawan di Kantor Redaksi Gelora Indonesia. Aku lebih menikmati liburan seperti ini daripada menjelajahi hotel di seluruh pelosok Jakarta sambil menggerayangi lekuk indah wanita ibukota. Tentu itu bukan gayaku, aku adalah sosok yang sangat menghargai dan mengasihi istriku serta anakku.

Senyumanku mengembang dengan perlahan ketika melihat seorang gadis kecil berjalan lincah melewati jalan yang kurancang khusus untuknya agat tidak terpeleset karena licin. Gadis itu melambaikan tanganya dengan semangat ketika melihatku duduk di balik jendela.

"Bapak!!!"

Aku terkekeh dan berjalan menuju pintu depan untuk menyambut si gadis kecil yang periang itu. Hatiku begitu menghagat ketika melihat Senandung (istriku) membawa handuk kering di depan pintu. Senandung berlutut sambil mengeringkan kaki basah si gadis kecil. Aku menanamkan sebuah peraturan di rumah ini, jika ingin masuk ke dalam rumah maka siapun harus mencuci kaki terlebih dahulu dengan segentong air yang telah kusediakan di depan rumah.

Dia, Hayuna Abiyasa. Putri kami, seorang Dewa Abiyasa dan Senandung Gumelar. Gadis yang terlahir sempurna dari cetakan yang sempurna pula. Diciptakan dengan sosok periang, berhati lembut, dan berotak kritis. Perpaduan setara antara aku dan Senandung. Kalian bisa melihat Hayuna sebagai aku, dan separuh lagi kalian akan melihat drama perempuan Senandung dalam diri Hayuna.

Hayuna tahun ini berumur 9 tahun. Ia sangat cerdas dalam segala hal. Sosok malaikat yang selalu aku banggakan pada rekan kerjaku.

"Bapak! Hayuna dari rumah Raga!"

Hayuna merentangkan tangannya dan bergelayut manja dalam gendonganku. Gadis mungil ini ternyata belum sadar jika ia sudah bertambah besar.

"Iya? Lalu kenapa dengan rumah Raga?"

Aku berjalan sambil menggendong Hayuna. Kemudian aku mendudukkannya di kursi makan yang aku rancang pula khusus untuknya.

"Tidak, Hayuna tidak sedang ingin membicarakan rumah Raga, bapak... Akan tetapi- Wooaaahh.."

Seketika ucapan Hayuna terhenti dan digantikan oleh ekspresi matanya yang melotot. Ia nampak takjub dengan menu makan siang hari ini.

Senandung terkekeh melihat kelakuan anak semata wayangnya. Ahh... Hanya cukup dengan mendengar suara kekehan Senandung, rasanya seperti kami sudah di dalam kamar dan selesai dengan urusan beradu peluh. Aku mengedipkan kedua mataku dan mencoba kembali fokus ketika Senandung melirikku dengan curiga. mungkin wajahku begitu merona ketika memandangnya.

"Ah, lalu apa? Lanjutkan, bapak sangat penasaran."

"Oh, ya! Hayuna tadi pagi tidak sempat ikut membaca koran bersama bapak. Aku melihat koran Gelora Indonesia di rumah Raga dan membaca bersamanya. Bapak, Hayuna dan Raga sangat menggemari cara menulis bapak yang sangat indah. Itu berita tentang presiden kita yang bijak dalam menangani masalah ekonomi negeri ini, namun bapak merangkai kata dengan sangat puitis! Raga sampai membaca tiga kali hanya karena terkesima dengan cara menulis bapak. Wah.. Bapak juga harus tahu kalau Raga mengoleksi semua tulisan bapak! Bapak sangat hebat! Tidak heran jika ibu jatuh cinta dengan bapak."

Celotehan gadis kecil kami ini membuatku tersenyum. Jiwa sastranya menurun dari darah yang kualirkan kepadanya. 'Ku usap puncak kepalanya dan tersenyum sambil mengucapkan terimakasih.

Aku menerima uluran piring beserta isi nasi dan lauk dari tangan lembut Senandung. Kulihat semburat tipis menghiasi pipi putihnya ketika mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Hayuna.

Sementara Hayuna sudah melahap makanan yang tersaji, aku tetap mengamati wanita anggun di depanku. Cara makan yang sangat anggun, itu juga salah satu yang membuatku terjerat dalam hatinya.

Senandung... Aku bertemu dengannya saat aku selesai mewawancarai beberapa narasumberku di Jogja. Saat itu aku masih sangat muda, baru beberapa hari menjalankan pekerjan dan langsung ditugaskan untuk mengejar narasumber di kota istimewa itu.

Saat itu Senandung masih dalam masa akhir kuliahnya. Kami bertemu di kampusnya. Aku tidak sengaja menginjak bolpoinnya yang terjatuh. Entah apa yang terjadi saat itu, ketika aku menatap matanya yang berwarna cokelat cerah, aku seperti dapat membayangkan sebuah pernikahan, sebuah rumah sederhana, seorang anak yang elok, dan sebuah kehidupan yang sempurna.

Entah apa pula yang bersarang di otakku kala itu, aku tidak mengucapkan kalimat permintaan maaf atau sapaan. Namun yang aku ucapkan hanya satu kata yang sangat menggambarkan Senandung pada saat itu.

"Bunga..."

Sesuatu yang spontan namun tidak kuanggap bodoh sampai sekarang. Sebab aku bisa memetik bunga seindah dirinya, dan dapat ku hirup harumnya sepuas yang aku inginkan.

Dari pertemuan pertama kami, aku menyelesaikan pekerjaanku di Jogja dan menunda nunda untuk kembali ke Jakarta dengan alasan masih belum puas mewawancarai narasumberku. Alhasil aku harus melakukan wawancara dengan narasumber secara berkali-kali. Serta bertemu pula dengan Senandung secara berkali-kali.

Namun aku sadar aku tidak boleh melalaikan pekerjaanku. Dengan jangka 7 hari kami bertemu dan setelahnya kuputuskan untuk kembali ke Jakarta, aku menancapkan janji pada Senandung. Bahwa aku akan menjadi topangan hatinya. Senandung sangat dramatis hingga membuatku gemas dengannya. Ia menangis dan merepet tentang betapa aku sangat tampan, tinggi, dan bersuara rendah. Hingga ia bermetafora seolah aku seperti sebuah magnet yang selalu menariknya dan tidak ingin kehilangan aku.

Pada saat itu pula, aku menemani Senandung sampai kost dan menghabiskan malam dengan penuh gelora dengannya. Aku memberikn sentuhan-sentuhan lembut yang akan semakin menarik hatinya agar ia yakin bahwa aku bersungguh-sungguh dengan hidupnya.

Kami menikah setelah Senandung lulus dari kuliahnya. Ia sama sepertiku, seorang penggila sastra. Dan memutuskan menulis banyak cerita yang ia kirimkan ke beberapa penerbit. Keputusannya semakin membuatku jatuh cinta. Memutuskan untuk tetap bekerja sambil mengurus rumah, dan tentu saja aku tidak akan membiarkan Senandung mengerjakannya sendiri. Aku selalu menyempatkan untuk membantu pekerjaannya di rumah dalam keadaan apapun.

Tuhan terlalu baik denganku sampai mengirimkan sosok malaikat-malaikat untuk menaungi hidupku. Bunga-bunga yang indah untuk memberikan semerbak harum dalam garis takdirku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun