Mohon tunggu...
Ninda Ardhita
Ninda Ardhita Mohon Tunggu... Novelis - Pecinta Sastra

Penulis Fiksi, Tips, Fashion, Binatang, Kosmos, dan Sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bunga

3 Desember 2023   21:40 Diperbarui: 3 Desember 2023   21:44 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat itu Senandung masih dalam masa akhir kuliahnya. Kami bertemu di kampusnya. Aku tidak sengaja menginjak bolpoinnya yang terjatuh. Entah apa yang terjadi saat itu, ketika aku menatap matanya yang berwarna cokelat cerah, aku seperti dapat membayangkan sebuah pernikahan, sebuah rumah sederhana, seorang anak yang elok, dan sebuah kehidupan yang sempurna.

Entah apa pula yang bersarang di otakku kala itu, aku tidak mengucapkan kalimat permintaan maaf atau sapaan. Namun yang aku ucapkan hanya satu kata yang sangat menggambarkan Senandung pada saat itu.

"Bunga..."

Sesuatu yang spontan namun tidak kuanggap bodoh sampai sekarang. Sebab aku bisa memetik bunga seindah dirinya, dan dapat ku hirup harumnya sepuas yang aku inginkan.

Dari pertemuan pertama kami, aku menyelesaikan pekerjaanku di Jogja dan menunda nunda untuk kembali ke Jakarta dengan alasan masih belum puas mewawancarai narasumberku. Alhasil aku harus melakukan wawancara dengan narasumber secara berkali-kali. Serta bertemu pula dengan Senandung secara berkali-kali.

Namun aku sadar aku tidak boleh melalaikan pekerjaanku. Dengan jangka 7 hari kami bertemu dan setelahnya kuputuskan untuk kembali ke Jakarta, aku menancapkan janji pada Senandung. Bahwa aku akan menjadi topangan hatinya. Senandung sangat dramatis hingga membuatku gemas dengannya. Ia menangis dan merepet tentang betapa aku sangat tampan, tinggi, dan bersuara rendah. Hingga ia bermetafora seolah aku seperti sebuah magnet yang selalu menariknya dan tidak ingin kehilangan aku.

Pada saat itu pula, aku menemani Senandung sampai kost dan menghabiskan malam dengan penuh gelora dengannya. Aku memberikn sentuhan-sentuhan lembut yang akan semakin menarik hatinya agar ia yakin bahwa aku bersungguh-sungguh dengan hidupnya.

Kami menikah setelah Senandung lulus dari kuliahnya. Ia sama sepertiku, seorang penggila sastra. Dan memutuskan menulis banyak cerita yang ia kirimkan ke beberapa penerbit. Keputusannya semakin membuatku jatuh cinta. Memutuskan untuk tetap bekerja sambil mengurus rumah, dan tentu saja aku tidak akan membiarkan Senandung mengerjakannya sendiri. Aku selalu menyempatkan untuk membantu pekerjaannya di rumah dalam keadaan apapun.

Tuhan terlalu baik denganku sampai mengirimkan sosok malaikat-malaikat untuk menaungi hidupku. Bunga-bunga yang indah untuk memberikan semerbak harum dalam garis takdirku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun