Mohon tunggu...
Ninda Ardhita
Ninda Ardhita Mohon Tunggu... Novelis - Pecinta Sastra

Penulis Fiksi, Tips, Fashion, Binatang, Kosmos, dan Sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bunga

3 Desember 2023   21:40 Diperbarui: 3 Desember 2023   21:44 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Iya? Lalu kenapa dengan rumah Raga?"

Aku berjalan sambil menggendong Hayuna. Kemudian aku mendudukkannya di kursi makan yang aku rancang pula khusus untuknya.

"Tidak, Hayuna tidak sedang ingin membicarakan rumah Raga, bapak... Akan tetapi- Wooaaahh.."

Seketika ucapan Hayuna terhenti dan digantikan oleh ekspresi matanya yang melotot. Ia nampak takjub dengan menu makan siang hari ini.

Senandung terkekeh melihat kelakuan anak semata wayangnya. Ahh... Hanya cukup dengan mendengar suara kekehan Senandung, rasanya seperti kami sudah di dalam kamar dan selesai dengan urusan beradu peluh. Aku mengedipkan kedua mataku dan mencoba kembali fokus ketika Senandung melirikku dengan curiga. mungkin wajahku begitu merona ketika memandangnya.

"Ah, lalu apa? Lanjutkan, bapak sangat penasaran."

"Oh, ya! Hayuna tadi pagi tidak sempat ikut membaca koran bersama bapak. Aku melihat koran Gelora Indonesia di rumah Raga dan membaca bersamanya. Bapak, Hayuna dan Raga sangat menggemari cara menulis bapak yang sangat indah. Itu berita tentang presiden kita yang bijak dalam menangani masalah ekonomi negeri ini, namun bapak merangkai kata dengan sangat puitis! Raga sampai membaca tiga kali hanya karena terkesima dengan cara menulis bapak. Wah.. Bapak juga harus tahu kalau Raga mengoleksi semua tulisan bapak! Bapak sangat hebat! Tidak heran jika ibu jatuh cinta dengan bapak."

Celotehan gadis kecil kami ini membuatku tersenyum. Jiwa sastranya menurun dari darah yang kualirkan kepadanya. 'Ku usap puncak kepalanya dan tersenyum sambil mengucapkan terimakasih.

Aku menerima uluran piring beserta isi nasi dan lauk dari tangan lembut Senandung. Kulihat semburat tipis menghiasi pipi putihnya ketika mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Hayuna.

Sementara Hayuna sudah melahap makanan yang tersaji, aku tetap mengamati wanita anggun di depanku. Cara makan yang sangat anggun, itu juga salah satu yang membuatku terjerat dalam hatinya.

Senandung... Aku bertemu dengannya saat aku selesai mewawancarai beberapa narasumberku di Jogja. Saat itu aku masih sangat muda, baru beberapa hari menjalankan pekerjan dan langsung ditugaskan untuk mengejar narasumber di kota istimewa itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun