Sudah Lama
sudah lama
bermukim di rumah tua ini
sudah sering
kuseka debu-debu di punggung dengan
jari yang mulai keriput dan retak.
di ujung pagi
kulihat lembu-lembu
mengusung daging perutnya sendiri
sejenak Api di pematang sawah itu membakar
jiwa hingga lebur tanpa Abu. ingin kuinjak kepalaku
sampai diri tanpa kepala. lalu, bintang arasy akan melayarkan
tubuhku hingga ke langit paling tepi, paling hakiki, dan paling abadi
Ya Ilahi...
sejajarkan enam Gunung yang menganak di dadaku
terangkan lima Jalan di tiap sujudku.
sudah lama
bermukim di rumah tua ini
tanpa penyucian yang berarti
.2010
...
SURAMADU
Langit meramaikan warna di balik punggungmu
Laut mengantarkan kapal-kapal pada dermaganya
Angin mengidungkan segala kepergian yang
Tak pernah direncanakan.
Tak ada yang tinggal setelah kau kokoh berdiri
Selain wajah dungu pulau yang mulai tua,
Pulau tempat tubuh-tubuh kecil menyabitkan mimpi.
Seperti apa kau petakan destinasi,
Setelah ladang garam ibu kami sejengkal lagi?
Bandung, 12 Dec 2010
...
Desember yang Patah
hujan turun pelanpelan,
Karam dan tenggelam
di tengah ramainya kota
Malam tadi, mimpi menulis banyak tentang kita
:kunangkunang ramai menusuk malam
menari di antara cahaya menyibak petang.
Starla
Waktu sperti tiada di keningmu
sekarat diantara detak jam yang terus berputar.
Aku ingin datang sebagai waktu
Mengantar kembali pada wajah kanakkanakmu.
Meski dengan kaki tak sempurna.
Tak pernah kutemui senyum paling indah,
Tak pernah kutahu arti luka,
Tak pernah kutahu arti cinta,
sampai ketemu kamu.
Starla
Kau slalu bertanya
Tentang desembar yang akan patah, waktu yang akan punah
Kita akan lahir dengan doadoa yang tertunda,
Kita akan hadir sebagai dua aurora paling indah, jawabku
Hari kedua melepas sobekan kisah begitu saja
Kita telan gelisah sekenanya
Dan membiarkan waktu merajutnya.
.2011
...
Di Kota yang Luka
Di luar jendela angin gaduh sekali membincangkan anak sungai yang tak mampu memetakan dirinya pada sebuah muara. “O, tidak! Ia akan pulang, sebab muara adalah rumah paling nyata”.
Langit tak henti-henti menyerapahi genteng rumah dengan dengusan-dengusan angkuh membuat organ-organ tubuh tersalib sekian lama. ”O, malam yang kelam, begitu tajam garis nasib yang kau goreskan di tubuhku hingga aku lupa bertanya, berapa banyak bintang jatuh yang lupa kau ceritakan?”
Pada burung-burung aku belajar menyikapi hidup, karena hidup bukan sekedar dari tangan ke mulut. pada karang di laut aku belajar kehilangan, karena setiap yang datang pasti berpulang.
Lalu kepadanya aku belajar kejam pada yang bernama kekurangan dan kehilangan. Aku berdiri di tanah lain, di kota yang mulai luka,tak melahirkan apa pun selain nama untuk mempertegas dirinya.
Jakarta, 14 Okt 2010
...
KORUPTOR
di atas kursi dan slendang dasi matamu sekarat
.2011
...
Kapal Kecil dan Tentaranya
kau pergi
dengan sebongkah lara di hatimu
meninggalkan
tentara kecil di dermaga bisu
semoga tak ada yang sangsi dalam pelabuhanmu
berlayarlah kapal kecil...
menembus batas di mana tubuhmu menjadi bias
lalu hilang pada barisan terahir ombak
yang tak berhenti meriak
ada tentara kecil membirukan namamu
saat senja mulai hilang
barlayarlah kapal kecil...
inilah puisi terakhir
mengiringi pelayaranmu
dari dermaga yang pernah melarung
tangis dan tawamu.
tentara kecil merawat luka
dengan selayar kisah dan tawaku.
.2011
...
Jadilah Wajah Sunyi Itu Afrilia...
{ untuk Afrilia Kelana Utami }
Setiap kunyalakan layar laptop
Ku lihat wajah-wajah melemparku
Dengan senyum yang teramat dingin
Mungkin juga asing.
Afrilia ! Aku mengenalmu seperti mengenal angka dan huruf-huruf
Di keyboard laptopku, seperti tombol klik di mos.
Aku mengenalmu seperti mengenal tubuhku sendiri.
Afrilia ! Membaca wajahmu, mengingatkan aku pada adik kecil yang setiap pagi menggosok-gosok tubuhku yang masih lelap dengan jemarinya yang lentik seraya berteriak kecil di telinga, "kak, bangun... waktunya shalat. Habis shalat antar aku ke sekolah ya kak?". Sampai sekarang terus kubawa wajah sunyi itu pada setiap kota yang kusinggahi. Pada setiap tanah yang kupijaki.
Aku ingin kau menjadi wajah sunyi itu, Afrilia. yang setiap saat merengek manja kemudian lelap tiba-tiba di pangkuanku, dan lalu tiba-tiba pula menancapkan gigi-gigi mungilmu di lenganku, "maaf ya kak, tadi aku mimpi mengunyah permen yang kakak berikan", setelah kutanya kenapa. Dan kau bangun dengan wajah ceria seolah tanpa dosa.
13 Agustus 2010
...
Tidurlah
Tidurlah adikku
biarlah mereka memasak air mata kita
mimpilah, esok luka ini kan tiada.
tegal 31/05/2010
...
Tentang Patah Hati
*Kolaborasi Arther Panther Olii, kang Arief, Rangga Umara, Fran HY, Noval Jubbek, Lina Kelana, Enno Salsa II, Black Roseheart, Reski Handani & Yazid Musyafa*
Sepi. Ruang dadaku semakin senyap, saat kau putus tak lagi mewarna pelangi yang pernah kita rakit, bersama senyum dan munajat. Ronanya membumbung langit , membuaiku dalam akut imaji, melupa waktu berdentang. Hingga dunia luruh ketika kau kata: ” Sayang, kita bukan menakar waktu, pun mengikat benang asmara. Kita bukan sedang merombak tatanan langit, pun bukan menyeret bintang tuk sinari wajahku untukmu. Mengertilah sayang, aku adalah bayangan”. Aku hanya diam, membungkam semua kata yang lahir dari rahim bahasaku. Kau sang mahkota hati, tega menyekap rasaku. Memasungnya dalam lingkaran asa semu. O mata air dari airmata, sekuat lentik tanganmu menaliku, sekuat itupun aku akan menjelma, menjadi sinar yang biasnya terangi jalan anak masa depanku.
O luka! Kukulum nikmat pedih selepasmu, bersama tempias potongan hujan di hati; kian sendu. “Lihatlah.., satu-satu menguning dedaun pada tumbuhan yang dulu kau tanam, lalu berguguran, berkulai diluluhlantakkan perpisahan kita.” Hanya menyisa dedaunan bayangmu yang tak jua retas di secawan waktu.
Terselip di bibirmu kelembutan dan bisa yang serupa hujan: Hujan tak lagi menampakan ceria, ketika embun dengan langkah pelan mencoba menggantikan matahari. "Setiap lembar daun yang jatuh dari mataku, itulah keindahan." katamu. sementara aku terdiam, membiarkanmu memutuskan benang yang mengikat angin asmara itu, kau hanya berkata "Waktu, waktu, waktu.". "Maka minumlah airmataku, wahai waktu. dan jelaskan pada waktumu, bahwa kau adalah waktu. dan aku anak waktu, sendiri" dalam balutan sepi."
Aku ingin memeluk wajahmu di pelupuk bulan. Setubuhi kembali bayang-bayang yang lama hilang. Aku mencoba mengenang seberapa banyak angka bulir airmata mengalir, dari sudut-sudut mata. Setelah perpisahan adalah satu-satunya pilihan. Aku ingin kembali singgahi peraduan bintang, mengais pilinan mimpi-mimpi kita yang belum usai.
Lengang mengendap malam malam. Ada nama itu berdetak di degup jantung. Serupa baru belajar berhitung, kueja sebegitu lembut. Kekasih, aku tak faham isyarat desir, aku tak mengerti ini usik risau. Yang aku tahu, mestinya engkau datang kali ini. Siangi rerumputan yang menjalar diam diam. Mestinya engkau benar benar di sini. ”Kekasih, di ruang mana engkau berpuisi. Masihkah padaku? Atau apa masih tentangku?” Di sini udara menjelma tuba. Menyobek rongga dada. Retaknya kian menganga. Rutuk merembes dari celahnya. Menekuk runtuh tegak tungkaiku. Mestinya engkau datang kali ini, kekasih.
Kelopak matak senjaku memerah, terbakar api yang kau tiup hari ini. Tahukah kau, bila matahari dan bulan memiliki sinar dan ruangnya sendiri? Dan rasanya itulah sebuah alasan mengapa kita tak bisa bersama. ”Terlukakah aku?” Itu tanyamu. Dan kini kuajak kau menatap matahari di atas sana. Lihatlah tubuhnya memerah panas tak menyisa teduh, seperti halnya dulu lagi. Dan itulah perih yang tak perlu panjang kuceritakan padamu. Aku masih bersama malam di mana dulu sarat kudengar tawamu,sambil mendekap tilas bibir yang kau lukis di dinding hatiku, yang di atas merahnya kutulis rindu. Aku masih di gelung bening bening embun, yang berlarian di dedaun talas talas hutan. Mengeja sebaris dan seulas wajah diatas kanvas yang telah carut. Meletak gatra pada gurit yang malam itu pernah kau tulis dengan air mata kita.
Ah… kau masih saja asyik merimba kata menyamak riduku. Tak sadarkah seburat luka selalu kau lukis; Menganga kala puja-puji kau jahit untuknya. Hatimu…, duri dan akar rasaku kau hujam meneracapi bumi. Semipun tiba namun kau hempas aku di sudut biru nan beku.
Lihatlah…, ini tanganku. Bertepuk sebelah lagi. Sekali lagi. Entah, mungkin aku tak sebanding dengan imaji yang kau hampar di separuh malammu. Atau bisa saja, kau memendam sosok lain yang tersimpan di sebalik foto yang kau taruh di bawah bantal tidurmu. Ah! Kini aku kembali menjemput sisa sisa malam sambil sesekali menghujat pagi. Berharap bayangmu memburam. Lalu hilang tanpa ada yang terkenang; Mati!
Kian asing kumaknai diri ini. Luka hati semakin menubir. Bicaraku adalah igauan abjad beku. Tiada laku pun tak berharga di pasar sepi. Selasar jiwa tak lagi berwarna tanpa hadirmu, yang senantiasa menjelma pelangi di tiap petak tanah kerinduan. Kepunahan asmara ini adalah kisah paling lara yang akan abadi, terpelihara di sisa jejak hidupku. Mungkin, esok akan kembali bersua senyum hangat mentari baru. Akan kembali bersitatap dengan sorotan teduh rembulan baru. Tapi, tidakkah ini tetap saja fatamorgana? Karena bintang yang seharusnya menemani tetap saja datang dari langit silam ; dirimu . O, airmata dari mata air lembah kepedihan. Sungkanlah mengalir tuk nyatakan rasa kehilangan ini.
Di ujung pintu waktu dulu, ketika aku mulai mengenal cinta, para Arif mengajariku tentang pahit bencana cinta dan kehilangan. Namun aku berpaling dari mereka. Hingga di ujung pintu waktu kini, Aku seperti burung kecil dari suram lembah jiwa, terbangun di pagi hari, meledak dalam lagu setelah pagi tua, dibumbui pahit anggur cinta. Api mendidih dalam diri seperti dengus sebuah ketel mendidih. Dua matamu tak mengalir bersama air mata: menghujamku dengan anak panah di hatiku yang patah. Aku bersandar seperti pinggiran jejahitan yang lepas dari sutra putih. Air mata mengalir turun di dadaku, mengingat hari bercinta. Namun, apakah terpendar asa dalam keruntuhan ini? Membawakanku pelipur lara? Bukankah penyembuh lara datang mengalir dari air mata? Saat angin pasir menyapu teluk derita, lalu pergi? Hingga pekarangan rumah hati yang tua menjadi sunyi.
150510 : 16.03. Antara Gorontalo, Ngawi, Bandung, Palembang, Malang, Babat, Yogyakarta, Martapura, Padang & Tegal dalam rasa yang sama.
...
Ayat Ganjil Terpahat di Punggung Batu
Ku eja ayat ganjil terpahat di punggung batu
yang merajah enam gunung abadi
ku tadahi tujuh langit retak di sudut
mataku yang hujan
hanya ayat itu deras mengalir di sujudku
srigala hitam berlarian di satusatu bulu mata,
melantun kidungkidung sihir dengan lolong panjang,
mengintai tumbal untuk persembahan
di hari penghitungan
entah jiwa siapa yang mati?
yang lena, maka dia yang tidur
yang tidur, dialah yang mati
dengan nama-Mu, yang ku hitung di tiap ruas jari
tunjukkan aku ke Jalan lurus-Mu.
Bandung 06-02-2010
...
Rangga Umara nama pena dari Mas Nurul H., seorang yang selalu meninggalkan jejak ayahnya pada setiap tarikan kata-kata dari rahim imajinasi ajaibnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI