Mohon tunggu...
ninja berkarya
ninja berkarya Mohon Tunggu... -

Tempat berkumpulnya karya para penulis sastra yang tergabung di dalam komunitas Ninja Berkarya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi - Puisi ninbera Edisi 6 : Rangga umara

28 Januari 2012   07:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:21 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

...

Tidurlah


Tidurlah adikku
biarlah mereka memasak air mata kita
mimpilah, esok luka ini kan tiada.

tegal 31/05/2010

...

Tentang Patah Hati


*Kolaborasi Arther Panther Olii, kang Arief, Rangga Umara, Fran HY, Noval Jubbek, Lina Kelana, Enno Salsa II, Black Roseheart, Reski Handani & Yazid Musyafa*

Sepi. Ruang dadaku semakin senyap, saat kau putus tak lagi mewarna pelangi yang pernah kita rakit, bersama senyum dan munajat. Ronanya membumbung langit , membuaiku dalam akut imaji, melupa waktu berdentang. Hingga dunia luruh ketika kau kata: ” Sayang, kita bukan menakar waktu, pun mengikat benang asmara. Kita bukan sedang merombak tatanan langit, pun bukan menyeret bintang tuk sinari wajahku untukmu. Mengertilah sayang, aku adalah bayangan”. Aku hanya diam, membungkam semua kata yang lahir dari rahim bahasaku. Kau sang mahkota hati, tega menyekap rasaku. Memasungnya dalam lingkaran asa semu. O mata air dari airmata, sekuat lentik tanganmu menaliku, sekuat itupun aku akan menjelma, menjadi sinar yang biasnya terangi jalan anak masa depanku.

O luka! Kukulum nikmat pedih selepasmu, bersama tempias potongan hujan di hati; kian sendu. “Lihatlah.., satu-satu menguning dedaun pada tumbuhan yang dulu kau tanam, lalu berguguran, berkulai diluluhlantakkan perpisahan kita.” Hanya menyisa dedaunan bayangmu yang tak jua retas di secawan waktu.

Terselip di bibirmu kelembutan dan bisa yang serupa hujan: Hujan tak lagi menampakan ceria, ketika embun dengan langkah pelan mencoba menggantikan matahari. "Setiap lembar daun yang jatuh dari mataku, itulah keindahan." katamu. sementara aku terdiam, membiarkanmu memutuskan benang yang mengikat angin asmara itu, kau hanya berkata "Waktu, waktu, waktu.". "Maka minumlah airmataku, wahai waktu. dan jelaskan pada waktumu, bahwa kau adalah waktu. dan aku anak waktu, sendiri" dalam balutan sepi."

Aku ingin memeluk wajahmu di pelupuk bulan. Setubuhi kembali bayang-bayang yang lama hilang. Aku mencoba mengenang seberapa banyak angka bulir airmata mengalir, dari sudut-sudut mata. Setelah perpisahan adalah satu-satunya pilihan. Aku ingin kembali singgahi peraduan bintang, mengais pilinan mimpi-mimpi kita yang belum usai.

Lengang mengendap malam malam. Ada nama itu berdetak di degup jantung. Serupa baru belajar berhitung, kueja sebegitu lembut. Kekasih, aku tak faham isyarat desir, aku tak mengerti ini usik risau. Yang aku tahu, mestinya engkau datang kali ini. Siangi rerumputan yang menjalar diam diam. Mestinya engkau benar benar di sini. ”Kekasih, di ruang mana engkau berpuisi. Masihkah padaku? Atau apa masih tentangku?” Di sini udara menjelma tuba. Menyobek rongga dada. Retaknya kian menganga. Rutuk merembes dari celahnya. Menekuk runtuh tegak tungkaiku. Mestinya engkau datang kali ini, kekasih.

Kelopak matak senjaku memerah, terbakar api yang kau tiup hari ini. Tahukah kau, bila matahari dan bulan memiliki sinar dan ruangnya sendiri? Dan rasanya itulah sebuah alasan mengapa kita tak bisa bersama. ”Terlukakah aku?” Itu tanyamu. Dan kini kuajak kau menatap matahari di atas sana. Lihatlah tubuhnya memerah panas tak menyisa teduh, seperti halnya dulu lagi. Dan itulah perih yang tak perlu panjang kuceritakan padamu. Aku masih bersama malam di mana dulu sarat kudengar tawamu,sambil mendekap tilas bibir yang kau lukis di dinding hatiku, yang di atas merahnya kutulis rindu. Aku masih di gelung bening bening embun, yang berlarian di dedaun talas talas hutan. Mengeja sebaris dan seulas wajah diatas kanvas yang telah carut. Meletak gatra pada gurit yang malam itu pernah kau tulis dengan air mata kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun