KOTA SUNYI
kota ini hantu, Bingo.
kusaksikan tubuh ibuku tanggal dari kalender.
kulitnya hitam, launnya luruh dari rahim napasku.
“setengah jiwamu dicuri sunyi, anakku.
temui sejarah. di sana sebagian jiwamu tinggal.
namun perjalanan, bukan kisah yang menyenangkan
di pagi hari,” kata ibuku sebelum hilang hening
kota ini hantu, bingo.
kusaksikan tubuh ibuku tanggal dari kalender.
kulitnya hitam, launnya luruh dari rahim napasku.
2010-2011
MAK
hujan tak ingin mendekat reda, mak.
jantung bumi dicumbunya, tungku basah dilepasnya.
sepergi bapak ke ladang, kubakar matahari
di bawah bantal yang senyap.
senja berputihan, bapak tak juga pulang.
mak, adakah tangannya tak sampai ke langitnya?
mataku rabun diantara degup jam
: kapan langit berhenti memeras hujan, mak?
kulepas matahari ke tungku pembakaran, mak,
agar pulang ke rumah raut bapak.
2010-2011
....
Tanggal-tanggal yang memanggilku kembali pada kenang
[ 1 ]
Pernah kudengar kabar, dongeng tercipta karena malam menakutkan bocah
Pernah pula kutiru, bagaimana ketakutan menyergap
menanti purnama tak lepas
Turun ke bumi menurut tanggalnya
Saat pagi jumawakan diri
Pada malam yang telah relakan menghenyak
Lalu mimpi-mimpi menjadi kembang
Tepat jam sembilan pagi
Lekuk-lekuk jalan dimulai
Di sinilah ia menjadi lain
Jelma sebagi sesuatu yang tenggelam paling dasar
Malam-malam, puisi, risau keringat
Dan musik-musik hening di tepi jalan
Di belakang gedung yang kau sebut sebagai yang tak mesti
Tahukah, ini biasa bagi kami menghabiskan hari tanpa
Memperhitungkan untung rugi
tiap timbangan airmata ataupun kegembiraan
Sebab, kami punya raga
Raga kami punya
[ 2 ]
“Puan, sudahkah Puan catatkan satu kalimat
Agar hari ini tak lupakan kisah.
Di sela-selanya, letih terus mengerjap
Tak henti menekan-nekan ulu dada
Sudahkah Puan tersenyum pada gelap yang begitu hening?”
Tanpa cahaya bukanlah petang yang merisaukan, sayang
Ia hanya semacam gundah yang menutupi tekad
Kisahkan kisah, pada sepanjang jalan
Lampu-lampu kota dan silir angin
Meruntuhkan dendam sunyi
Dan lagu-lagu kemudian terciptalah
[ 3 ]
Malam ini malam perayaan
Terpaksa kutempuhi lingkaran roda
Yang melecutku maju
“Tidak. Ini bukan soal kegentaran
Namun ini soal ketiadaan ingin.”
“Kau bangkitlah, perempuan
Di lenganmu negri pernah tersenyum
Dan di lenganmulah ia akan tetap rekah,”
Katamu menunjuk satu titik
Laut batinku, ketika dulu
Bersama seorang kawan
Menuntunku lebih gemetar
Malam ini malam perayaan
Dan kau tunjuk satu bintang untuk kulihat lebih dalam
Di sana huruf-huruf menyusun diri
Sebagai puisi
Dan senyummu di sela-sela perhelatan
Adalah puisi yang paling malam
Dari malamnya malam
[ 4 ]
Menakjubkan jika bisa kusentuh satu angka pada kalender
Tentang bilangan yang tak cukup menjangkau rahsia
Tentang kota yang dingin
Tentang orang-orang berhati malaikat
Juga tentang perdebatan yang bias
Kau datang dan ciptakan irama
Malam di tepi letih
Menunggu detik keduabelas
Lewat musim lalu
Dan Natal tiba-tiba muncul dalam dekapan
Laut-laut berubah tenang
Ruang-ruang kembali terisi saat
Kedua alismu mengatakan
Akan ada bahasa atas rindu yang puisi
Malam ini, natal pertama kudapatkan kado
Dari orang-orang yang baru kujumpa
Dan kau, semakin yakin
Hening, malam, puisi, dan rindu
Temukan citra yang paling sesuai
Menakjubkan jika bisa kusentuh satu angka pada kalender
Tentang bilangan yang tak cukup menjangkau rahsia
Tentang kota yang dingin
Tentang orang-orang berhati malaikat
Juga tentang perdebatan yang bias
[ 5 ]
kutitipkan pesan-pesan
tanpa bahasa
terbang bersama pagi
sekembali ia menjadi semula
Natal yang jadi lain
Kau bilang musim akan menunggu tiba saat
Kita kembali membilang angka-angka pada kalender
Babat, 27 Des 2011
........
Lina Kelana, bekerja di Gerakan Alam Pikir Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H