Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Cerpen] Surup

27 Januari 2025   00:18 Diperbarui: 27 Januari 2025   19:19 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surup
Nina Sulistiati 

Semburat merah jingga terhampar di cakrawala. Mentari mulai tenggelam perlahan, meninggalkan pijar jingga yang melebur dalam gelap. Bayangan hitam menyusup ke celah-celah pepohonan, menambah suram suasana desa Sambiharjo senja itu.

 Lampu-lampu minyak dari beberapa rumah berkedip lemah, laksana kunang-kunang yang bertebaran di penjuru desa. Waktu berjalan lambat, meninggalkan rasa mencekam yang merayap ke seluruh sudut desa itu. Bulan sepasi tertutup awan hitam menemani suasana sunyi menjelang malam.

"Kita bersiap-siap ke masjid yuk. Sakedap deui magrib." Hasan menepuk bahu Irsyad yang terbaring di amben.

Saat itu kami ---  Aku, Hasan, Irsyad, Hafidz, Fatimah dan Hani --- sedang berada di rumah Bi Imas, asisten rumah tangga di rumah Irsyad. Kami sengaja ikut ke desa Bi Imas untuk mengisi liburan semester kali ini. Kami baru saja tiba di desa ini pagi tadi setelah menempuh perjalanan lima belas jam dari Sukabumi.

Udara di desa Sambiharjo terasa lebih dingin, menggigit kulit. Desa ini memang sangat sunyi , seolah menyimpan rahasia yang tidak boleh diungkapkan. Irsyad bangkit perlahan, wajahnya tampak lelah, tapi ada kilatan rasa penasaran di matanya.

"Desa ini terlalu sunyi, ya apalagi saat menjelang malam begini?" gumamnya sambil merapikan jaket. Hafidz, Fatimah dan Hani  hanya mengangguk. 

Aku juga merasakan hal yang sama. Kesunyian  di Sambiharjo bukan sekadar ketenangan desa, tetapi seolah ada rahasia yang tidak boleh diketahui orang lain. Aku teringat mitos tentang larangan para orang tua untuk keluar pada saat magrib agar tak dibawa oleh makhluk bernama wewe gombel. Mitos yang khususnya diperuntukan untuk anak-anak saja.

"Kita bersiap-siap ke masjid yuk ." Hasan kembali menepuk bahu Irsyad yang masih  terbaring di amben.

"Aden, jangan salat ke masjid, ya. Lebih baik berjamaah saja di rumah." Bi Imas berteriak saat mendengar ajakan Hasan.

"Kenapa, Bi? Sekalian mau silahturahmi juga dengan penduduk desa." Irsyad yang terkenal alim memandang Bi Imas.

"Sudah lama desa ini tidak melaksanakan salat berjamaah  magrib di masjid. Kepala desa melarang karena ada warga yang hilang saat menjelang magrib. Katanya mereka hilang diculik wewe gombel. Oleh karena itu ada larangan untuk seluruh warga desa jangan keluar rumah menjelang magrib hingga pagi hari. Dan anehnya peraturan itu baru berlaku setahun lalu. Saat Bibi ada di sini semua aman-aman saja."Bi Imas menjelaskan dengan antusias.

Aku melihat Irsyad, Hasan, dan lainnya saling memandang. Intuisi mereka mulai bekerja. Mereka memang terkenal pemberani dan tak mengenal takut.

"Berarti ada sesuatu yang ganjil,dong. Dan kita harus cari tahu," ujar Hasan semangat dan diiyakan oleh mereka. Aku hanya menggeleng saja melihat keberanian mereka.

Malam itu aku, Irsyad, Hasan, Fatimah, Hafidz, dan Hani merasakan adrenalin yang mulai muncul. Kami memutuskan untuk menyelidiki keanehan itu. Rasa penasaran yang tak tertahankan muncul, khusus bagi Hasan dan Irsyad.

"Kalau kita tidak mencari tahu, misteri ini akan terus menghantui," ujar Hasan berbisik.

Awalnya aku ragu karena merasa misteri ini lebih berbahaya dari misteri-misteri lain.  Namun, akhirnya aku ikut agar bisa ikut serta memecahkan misteri ini dan mendapatkan informasi akurat. Malam itu kami menyusun rencana dan berniat salat di masjid saat magrib tiba.

"Den, kalian tidak usah salat di sana, ya? Bibi takut kalian kenapa-kenapa," pinta Bi Imas saat melihat kami akan pergi.

"Tidak apa-apa, Bi. Insyaallah kami bisa menjaga diri," ujar Hasan," Lagi pula kita berdosa jika masjid tak dipakai ibadah."

Jarum jam di tangan sudah menunjukkan angka 17.40. Sebentar lagi waktu magrib akan tiba. Udara sangat dingin hingga menusuk sampai ke tulang. Aku, Hasan, Irsyad, Fatimah, dan Hafidz  berangkat menuju masjid. Hani memilih tinggal di rumah bersama Bi Imas.

Sepanjang perjalanan yang terdengar hanya suara langkah kami. Bayangan raksasa muncul dari pepohonan di sekitar jalan setapak. Tak ada suara belalang, jangkrik atau burung malam, hanya kesunyian yang menambah adrenalin semakin meningkat.

"Suasananya terlalu sepi," bisik Fatimah, seraya menggenggam erat tanganku.

"Ada sesuatu yang aneh di sini," gumam Hafidz sambil terus memimpin kami.

Saat tiba di halaman masjid, ada sesuatu yang aneh atau mungkin hanya perasaan kami saja. Lampu cempor di teras masjid berkedip-kedip tertiup angin. Kami mengucapkan salam dan memasuki masjid pelan.

"Kita berjamaah tanpa azan saja. Dan kita harus tetap hati-hati," bisik Irsyad. "Jangan pisah terlalu jauh, ya."

Kami salat di masjid itu tanpa mengeraskan suara. Hafidz yang menjadi imam karena bacaan dia lebih fasih dibanding Hasan dan Irsyad. Setelah itu kami mengaji dan membacakan ayat-ayat Al quran. Sepanjang mereka salat dan mengaji, tak ada kejadian aneh terjadi.

Setelah itu kami pulang. Suasana desa masih tetap sepi. Hanya terlihat lampu-lampu minyak yang berkerlap-kerlip dari dalam rumah-rumah yang kami lewati. Saat mereka melalui pinggiran desa, kami melihat satu bangunan dengan kondisi yang sangat gelap.

"Kok aneh ya dengan bangunan itu. Tak ada cahaya sedikit pun  dibandingkan rumah penduduk lain." Aku berkata pelan kepada teman-teman.

Instingku mengatakan ada rahasia yang tidak boleh diketahui oleh para penduduk di sini. Akhirnya kami memutuskan untuk menyelidiki rumah itu. Hasan melangkah lebih dulu. Kami pelan-pelan mendekati pintu bangunan yang tertutup rapat. Ia mendorong pintu kayu rumah itu dengan perlahan. Suara derit terdengar, menggetarkan hati kami. Kami masuk satu persatu dengan sikap waspada.

Di dalam rumah itu tampak kosong. Udara seperti penuh dengan sesuatu yang tidak kasatmata. Hasan menyalakan senter yang tak pernah lupa dibawanya, menyusuri ruangan dengan pelan..

"Tidak ada apa-apa, hanya tumpukan peti-peti besar," ujar Hafidz, mencoba menenangkan diri.

Namun, saat kami mendekati ruangan belakang, kami melihat sesuatu yang membuat debaran  jantung kami seolah terhenti. Ada bekas lingkaran besar di ubin.

"Ini... apa?" bisik Fatimah dengan suara gemetar.

"Sepertinya... semacam ritual," jawab Irsyad.

"Hai ... lihat! Ini ada bubuk putih menyerupai tepung. Apa, ya?" Hafidz menunjuk sebuah karung yang tersimpan di dalam peti yang terbuka. Aku memotret karung berikut isinya.

Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki berat dari arah luar. Kami saling pandang dengan menutup mulut agar suara kami tak terdengar.  Langkah itu semakin dekat, berderap di tanah.Namun langkah kaki itu berhenti di depan pintu rumah.

Kami semua mundur perlahan ke arah pintu.. Pintu yang semula terbuka tiba-tiba tertutup dengan keras, membuat kami tersentak.

"Ini tidak benar," desis Hafidz," Kita harus segera keluar dari sini."

Kami melihat bayangan besar di halaman saat mengintip dari celah jendela. Sosok itu bertubuh tinggi besar dan hitam seolah bukan manusia.

"Kita harus keluar sekarang. Aku yakin itu makhluk yang sering menculik para warga di sini," ujar Irsyad dengan nada panik.

Kami bergerak menuju pintu belakang, tetapi suara aneh terdengar. Suara langkah kaki, disusul suara mendengus berat.

"Cepat!" Hasan memimpin kami menuju pintu belakang.

Namun sebelum kami berhasil keluar, sosok besar itu muncul di depan pintu belakang, menghalangi jalan.Senter kami menerangi wajahnya. Makhluk berbentuk manusia dan tubuhnya dipenuhi bulu hitam tebal. Matanya merah menyala, menatap kami dengan tajam. Fatimah menjerit. Aku merasa kakiku membeku. Makhluk itu mendekat perlahan, menggeram rendah.

"Lari ke pintu depan!" teriak Hasan.

Namun pintu itu terkunci dari luar. Kami memecahkan kaca jendela  dan memanjat keluar satu per satu. Setelah itu kami berlari tanpa menoleh ke belakang. Kami mendengar suara makhluk itu mengejar kami dengan langkah berat. Nafas kami terengah-engah, tetapi kami terus berlari sampai tiba di rumah Bi Imas.

Bi Imas berdiri di depan rumah. Wajahnya tampak khawatir.

 "Kalian nekat ke masjid?! Apa kalian ingin mati? Lalu apa yang terjadi dengan kalian?" Bi Imas memberondong pertanyaan tanpa memberi kesempatan untuk menjawab.

"Makhluk itu... apa itu, Bi?" tanyaku, terengah-engah.

Bi Imas terdiam sejenak, sebelum akhirnya berbicara dengan suara pelan.

 "Itulah yang muncul sejak kepala desa membuka hutan untuk tambang. Banyak yang bilang makhluk itu penunggu hutan yang marah karena tempatnya dirusak. Kepala desa mencoba mengusirnya dengan ritual, tetapi malah membuatnya semakin beringas. Makhluk itu akan mengambil para warga yang keluar di malam hari. Itu alasannya penduduk tidak boleh keluar sekalipun akan pergi ke masjid."

Kami semua terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kami dengar. Aku merekam semua yang diucapkan Bi Imas. Informasi ini sangat penting. Aku harus merahasiakan tentang misiku sebenarnya ikut ke desa ini.

"Kita harus pulang lagi besok pagi," lanjut Bi Imas. "Jangan pernah kembali."

"Bi, kita kan baru datang tadi pagi," protes Hasan dan Irsyad bersamaan.

Bi Imas tak mau mendengar protes kami. Dia memaksa kami kembali ke Sukabumi esok pagi. Dan malam itu kami tak bisa tidur. Meskipun kami berhasil keluar dari rumah itu dengan selamat, rasa mencekam  tetap menghantui hati kami.

Tiba-tiba handphone bergetar pertanda ada pesan masuk. Rupanya dari Om Danu-- adik mama yang bertugas sebagai intel polisi.

"Besok pagi kalian berpura-pura keluar dari desa itu. Kalian pergi ke rumah Lik Darmin di kota. Semua informasi sudah Om terima. Selanjutnya rahasia desa itu kami yang akan membongkarnya.  Kali ini misimu sangat berbahaya. Jangan cemas ada informan yang menjaga kalian di sana, jadi kalian aman malam ini."

Aku tersenyum lega. Artinya malam ini kami dapat tidur dengan nyenyak dan tidak perlu takut dengan makhluk seram itu. Aku yakin Om Danu dan tim-nya akan membongkar rahasia yang selama ini menyelimuti desa itu.

Cibadak 27 Januari 2025
 

Catatan kaki

Sakedap deui magrib: sebentar lagi magrib

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun