Namun pintu itu terkunci dari luar. Kami memecahkan kaca jendela  dan memanjat keluar satu per satu. Setelah itu kami berlari tanpa menoleh ke belakang. Kami mendengar suara makhluk itu mengejar kami dengan langkah berat. Nafas kami terengah-engah, tetapi kami terus berlari sampai tiba di rumah Bi Imas.
Bi Imas berdiri di depan rumah. Wajahnya tampak khawatir.
 "Kalian nekat ke masjid?! Apa kalian ingin mati? Lalu apa yang terjadi dengan kalian?" Bi Imas memberondong pertanyaan tanpa memberi kesempatan untuk menjawab.
"Makhluk itu... apa itu, Bi?" tanyaku, terengah-engah.
Bi Imas terdiam sejenak, sebelum akhirnya berbicara dengan suara pelan.
 "Itulah yang muncul sejak kepala desa membuka hutan untuk tambang. Banyak yang bilang makhluk itu penunggu hutan yang marah karena tempatnya dirusak. Kepala desa mencoba mengusirnya dengan ritual, tetapi malah membuatnya semakin beringas. Makhluk itu akan mengambil para warga yang keluar di malam hari. Itu alasannya penduduk tidak boleh keluar sekalipun akan pergi ke masjid."
Kami semua terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kami dengar. Aku merekam semua yang diucapkan Bi Imas. Informasi ini sangat penting. Aku harus merahasiakan tentang misiku sebenarnya ikut ke desa ini.
"Kita harus pulang lagi besok pagi," lanjut Bi Imas. "Jangan pernah kembali."
"Bi, kita kan baru datang tadi pagi," protes Hasan dan Irsyad bersamaan.
Bi Imas tak mau mendengar protes kami. Dia memaksa kami kembali ke Sukabumi esok pagi. Dan malam itu kami tak bisa tidur. Meskipun kami berhasil keluar dari rumah itu dengan selamat, rasa mencekam  tetap menghantui hati kami.
Tiba-tiba handphone bergetar pertanda ada pesan masuk. Rupanya dari Om Danu-- adik mama yang bertugas sebagai intel polisi.