"Ada sesuatu yang aneh di sini," gumam Hafidz sambil terus memimpin kami.
Saat tiba di halaman masjid, ada sesuatu yang aneh atau mungkin hanya perasaan kami saja. Lampu cempor di teras masjid berkedip-kedip tertiup angin. Kami mengucapkan salam dan memasuki masjid pelan.
"Kita berjamaah tanpa azan saja. Dan kita harus tetap hati-hati," bisik Irsyad. "Jangan pisah terlalu jauh, ya."
Kami salat di masjid itu tanpa mengeraskan suara. Hafidz yang menjadi imam karena bacaan dia lebih fasih dibanding Hasan dan Irsyad. Setelah itu kami mengaji dan membacakan ayat-ayat Al quran. Sepanjang mereka salat dan mengaji, tak ada kejadian aneh terjadi.
Setelah itu kami pulang. Suasana desa masih tetap sepi. Hanya terlihat lampu-lampu minyak yang berkerlap-kerlip dari dalam rumah-rumah yang kami lewati. Saat mereka melalui pinggiran desa, kami melihat satu bangunan dengan kondisi yang sangat gelap.
"Kok aneh ya dengan bangunan itu. Tak ada cahaya sedikit pun  dibandingkan rumah penduduk lain." Aku berkata pelan kepada teman-teman.
Instingku mengatakan ada rahasia yang tidak boleh diketahui oleh para penduduk di sini. Akhirnya kami memutuskan untuk menyelidiki rumah itu. Hasan melangkah lebih dulu. Kami pelan-pelan mendekati pintu bangunan yang tertutup rapat. Ia mendorong pintu kayu rumah itu dengan perlahan. Suara derit terdengar, menggetarkan hati kami. Kami masuk satu persatu dengan sikap waspada.
Di dalam rumah itu tampak kosong. Udara seperti penuh dengan sesuatu yang tidak kasatmata. Hasan menyalakan senter yang tak pernah lupa dibawanya, menyusuri ruangan dengan pelan..
"Tidak ada apa-apa, hanya tumpukan peti-peti besar," ujar Hafidz, mencoba menenangkan diri.
Namun, saat kami mendekati ruangan belakang, kami melihat sesuatu yang membuat debaran  jantung kami seolah terhenti. Ada bekas lingkaran besar di ubin.
"Ini... apa?" bisik Fatimah dengan suara gemetar.