Surup
Nina SulistiatiÂ
Semburat merah jingga terhampar di cakrawala. Mentari mulai tenggelam perlahan, meninggalkan pijar jingga yang melebur dalam gelap. Bayangan hitam menyusup ke celah-celah pepohonan, menambah suram suasana desa Sambiharjo senja itu.
 Lampu-lampu minyak dari beberapa rumah berkedip lemah, laksana kunang-kunang yang bertebaran di penjuru desa. Waktu berjalan lambat, meninggalkan rasa mencekam yang merayap ke seluruh sudut desa itu. Bulan sepasi tertutup awan hitam menemani suasana sunyi menjelang malam.
"Kita bersiap-siap ke masjid yuk. Sakedap deui magrib." Hasan menepuk bahu Irsyad yang terbaring di amben.
Saat itu kami --- Â Aku, Hasan, Irsyad, Hafidz, Fatimah dan Hani --- sedang berada di rumah Bi Imas, asisten rumah tangga di rumah Irsyad. Kami sengaja ikut ke desa Bi Imas untuk mengisi liburan semester kali ini. Kami baru saja tiba di desa ini pagi tadi setelah menempuh perjalanan lima belas jam dari Sukabumi.
Udara di desa Sambiharjo terasa lebih dingin, menggigit kulit. Desa ini memang sangat sunyi , seolah menyimpan rahasia yang tidak boleh diungkapkan. Irsyad bangkit perlahan, wajahnya tampak lelah, tapi ada kilatan rasa penasaran di matanya.
"Desa ini terlalu sunyi, ya apalagi saat menjelang malam begini?" gumamnya sambil merapikan jaket. Hafidz, Fatimah dan Hani  hanya mengangguk.Â
Aku juga merasakan hal yang sama. Kesunyian  di Sambiharjo bukan sekadar ketenangan desa, tetapi seolah ada rahasia yang tidak boleh diketahui orang lain. Aku teringat mitos tentang larangan para orang tua untuk keluar pada saat magrib agar tak dibawa oleh makhluk bernama wewe gombel. Mitos yang khususnya diperuntukan untuk anak-anak saja.
"Kita bersiap-siap ke masjid yuk ." Hasan kembali menepuk bahu Irsyad yang masih terbaring di amben.
"Aden, jangan salat ke masjid, ya. Lebih baik berjamaah saja di rumah." Bi Imas berteriak saat mendengar ajakan Hasan.
"Kenapa, Bi? Sekalian mau silahturahmi juga dengan penduduk desa." Irsyad yang terkenal alim memandang Bi Imas.