"Bapak?" tanyaku ragu, bersiap menyiapkan mental untuk menemuinya.
Namun yang muncul bukan Bapak, melainkan Mas To. Wajahnya keras, dan ada kilatan dingin di matanya yang dulu selalu hangat.
"Kamu pulang juga akhirnya," katanya tanpa basa-basi. Dia duduk di bangku kecil.
Aku hanya mengangguk.
"Kenapa? Apa yang kamu cari di sini?"Pertanyaannya tajam, dan aku tertegun sejenak.
"Aku hanya ingin... melihat rumah," jawabku pelan.
"Rumah?" Mas To tertawa kecil, namun tidak ada humor di sana. "Kamu meninggalkan ini semua sepuluh tahun lalu karena merasa Bapak terlalu keras. Kamu pikir kamu korban di sini, ya? Apa kamu tahu apa yang terjadi setelah kamu pergi?"
Aku mengerutkan kening. "Maksudmu?"
"Bapak sakit, Ibu semakin tertutup, dan aku yang harus mengurus semuanya. Kamu enak pergi dengan alasan mengejar mimpi, tapi kami di sini yang harus menanggung semua akibatnya."
Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Aku menatap Mas To dengan wajah bersalah.
"Kamu tahu, Bapak... selalu bilang dia menyesal. Namun, dia terlalu gengsi untuk mengatakannya langsung padamu. Dia berharap kamu akan kembali, meskipun itu cuma untuk bilang bahwa kamu baik-baik saja." lanjutnya, nada suaranya kini lebih rendah,