Kamar 301 Edelwis rumah sakit itu sunyi, hanya diisi bunyi jam dinding yang berdetak pelan, seolah menghitung waktu yang terus berjalan tanpa henti. Dindingnya berwarna putih pucat, membawa aura kelam yang pekat. Sinar mentari menyelinap di antara dua jendela kecil, Â terasa muram ketika bertemu dengan tirai biru pudar yang melambai perlahan oleh embusan angin.
Aku melihat sosok kaku terbujur di atas ranjang. Raga seorang gadis yang sangat mirip denganku. Ya itu tubuhku, tetapi mengapa aku ada di sini? Aku terpisah dari ragaku sendiri? Â Arwahku melayang tenang di atas ruangan, menyaksikan tubuhku yang terbujur kaku di ranjang rumah sakit. Jasadku tampak damai penuh keikhlasan, sementara orang-orang terkasih mengelilingiku. Mereka terhanyut dalam tangis yang menghadirkan suasana duka.
Ibu memegang tangan dinginku, meremas dengan harapan bahwa apa yang terjadi hanya sebuah mimpi dan aku akan terbangun. Sementara ayah memalingkan wajahnya, menyembunyikan air mata yang mengalir tanpa henti. Sahabat-sahabatku berdiri terdiam, menatap kosong ke tubuh yang pernah membawa keceriaan di kehidupan mereka. Dari atas, aku menghela napas tanpa suara, ingin berkata bahwa aku baik-baik saja. Aku ingin mengatakan bahwa cinta mereka telah cukup untuk mengiringiku menuju keabadian. Namun, hanya kesunyian yang aku dapatkan, menggantikan rasa sakit yang kini tak lagi terasa.
Aku masih ingat tentang peristiwa yang terjadi tadi malam. Saat itu aku terbaring di tempat tidur rumah sakit, menatap kosong ke luar jendela. Berbagai kabel dan selang masih memenuhi hidung dan tubuhku.
Rambutku yang dulu panjang dan hitam kini hanya tersisa beberapa helai  Tubuhku kurus hingga tulang-tulang mencuat jelas di balik kulit yang pucat dan tipis. Pipi yang dulu penuh kini cekung, mempertegas garis rahang yang terlalu tajam. Pergelangan tanganku kecil, kurus seperti ranting yang siap patah. Kaki dan lenganku tak lebih dari kerangka, tak lagi mampu menopang berat tubuh yang sudah menyusut jauh. Mata yang dulu bercahaya kini tampak suram, memancarkan kelelahan yang tak mampu disembunyikan. Napas yang pelan, teratur meski berat, menjadi tanda bahwa kehidupan masih bersemayam di tubuhku. Namun, di balik tubuh yang lemah, ada asa yang tersisa karena masih ada sesuatu yang ingin aku perjuangkan.
Di sudut ruangan, Baruna berdiri diam, memandangku dengan tatapan penuh cinta. Aku tak tahu apakah yang ada di dalam hati cowok itu benar-benar ketulusan cinta atau sekadar rasa iba dengan penderitaanku.
Sore itu, seperti biasa ia datang dengan setangkai mawar putih di tangannya, seperti ritual yang tak pernah terlewatkan. Baruna menyerahkan setangkai mawar putih kepadaku, senyumnya penuh kehangatan. "Untukmu, seperti biasa," ucapnya lembut.
"Kenapa selalu mawar putih, Baruna? Bukankah bunga lain juga cantik?" tanyaku sambil menatap dalam mata lelaki itu. Aku menerima bunga itu dengan senyum kecil, ujung jariku menyentuh kelopak mawar yang segar.
"Mawar putih itu ... sederhana, tapi bermakna. Ia melambangkan cinta yang tulus, tanpa syarat, seperti yang selalu kuberikan untukmu." Baruna menghela napas pelan, seakan sedang merangkai kata yang full romantis.
"Cinta suci, ya?" gumamku hampir berbisik. Aku terdiam sejenak.
"Iya," jawab Baruna, tatapannya lurus ke arahku. "Karena mencintaimu bukan soal kemewahan atau kemegahan. Ini tentang sebuah janji yang ingin kujaga---selalu bersamamu, dengan hati yang utuh."
Aku tersenyum, memegang erat tangkai mawar putih itu, seolah ingin menyimpan kehangatan kata-kata Baruna dalam hatiku selamanya.
"Izinkan aku menikahimu, Tiur," ucap Baruna dengan lirih, tanpa melepaskan tatapannya dari mataku yang mulai berkaca-kaca.
Aku menundukkan kepala, menyembunyikan gelombang emosi yang mendesak di dada. Aku menghela napas berat dan jemari gemetar memegang tangkai mawar putih di tanganku. "Baruna," suaraku hampir tak terdengar, "Aku ... aku tak pantas menerima cintamu sebesar ini."
Baruna mengernyitkan dahi, tapi ia tetap menunggu, sabar seperti biasa. Aku menatapnya kembali, dengan mata yang sarat beban.
"Aku ... aku sakit, Runa dan mungkin umurku tak lama lagi. Bagaimana aku bisa menerima lamaranmu, ketika yang kutahu aku hanya akan meninggalkanmu dalam kesedihan? Aku tak ingin menjadi bebanmu. Aku ingin kau bahagia, menemukan seseorang yang bisa memberikan masa depan yang layak untukmu." Air mata mulai mengalir di pipiku, tapi cepat-cepat kuhapus buliran- buliran bening itu.
Baruna hanya tersenyum kecil, penuh kelembutan yang membuat hatiku semakin berat. "Kau sudah tahu jawabanku," katanya pelan. "Bahagia bagiku adalah berada di sisimu, berapa pun waktu yang kita miliki. Sakit atau sehat, panjang atau singkat, aku tetap ingin kita berjalan bersama."
Aku tak mampu menolak lamaran Baruna. Dia sungguh-sungguh mencintaiku. Aku sangat tersanjung meski di lubuk hatiku tak tega jika harus kembali kepada-Nya dalam waktu cepat.
Pagi ini, ruangan rumah sakit yang dingin berubah menjadi tempat sakral. Aku yang masih terbaring, menatap Baruna yang duduk di depan meja. Di depannya ada Ayah dan seorang laki-laki, mungkin penghulu yang akan menikahkan kami. Kami dikelilingi keluarga dan para sahabat.
Prosesi pernikahan akan dilaksanakan pagi ini di ruang tempatku dirawat. Aku mengenakan gaun putih sederhana, membalut tubuhku yang ringkih. Aku melihat ke arah meja tempat ijab Kabul. Senyum tipis menghiasi wajahku, meski rasa sakit terus menggigit di setiap tarikan napas.
"Kamu ... kamu cantik sekali," bisik Mama sambil menghapus air mataku yang mengalir tanpa diminta.
 "Terima kasih, Ma. Aku bahagia hari ini." Aku tersenyum lemah.
Baruna duduk di depanku dengan senyum penuh keyakinan. Di balik senyum itu, ada kesedihan yang ia sembunyikan. Ia tahu, waktu yang tersisa bersamaku tak akan lama, tetapi ia tetap memilih untuk memperjuangkan aku sampai akhir.
Saat ijab kabul diucapkan, suasana ruangan dipenuhi oleh haru yang tak terbendung. Sahabat-sahabatku meneteskan air mata begitu juga mama. Beberapa tamu menunduk dan menyembunyikan air mata mereka.
Setelah kata "sah" terdengar, Baruna memelukku dengan erat, seolah ingin melindungi dari segala rasa sakit yang aku rasakan ini.
"Aku mencintaimu, Tiur," bisiknya di telinga seraya memeluk tubuhku.
"Aku juga mencintaimu, Baruna. Terima kasih... untuk segalanya." Aku tersenyum kecil, meski bibirku mulai pucat.
Sesaat setelah kata-kata itu terucap, tiba-tiba tubuhku kejang-kejang, seperti ada aliran listrik yang menyentak seluruh sarafku. Baruna panik, memelukku erat-erat, memanggil namaku berulang kali, tapi suara itu terdengar semakin jauh, seperti angin yang berbisik di kejauhan. Kemudian tubuhku melemas, lunglai dalam pelukannya.
Aku tak merasakan apa-apa lagi, hanya ada keheningan yang memelukku. Seolah waktu berhenti, aku merasakan diriku melayang, ringan, terbebas dari semua rasa sakit yang selama ini membebani. Tubuhku yang terbaring dalam pelukan Baruna terlihat asing, hanya cangkang kosong yang kehilangan nyawanya. Aku melihat wajah Baruna yang memucat. Matanya memancarkan kesedihan yang tak terlukiskan.
Di sekelilingku, dunia tampak memudar, berganti dengan kilasan-kilasan ingatan---tawa kami di taman, malam-malam penuh cerita, dan mawar putih yang selalu ia bawa. Aku ingin menyentuhnya, ingin mengatakan bahwa aku baik-baik saja, tapi jarak di antara kami terasa seperti jurang yang tak terjembatani.
Perlahan, cahaya lembut mulai menyelimuti pandanganku, hangat dan menenangkan. Aku tahu, inilah akhir bagi tubuhku, tetapi mungkin awal bagi sesuatu yang baru. Aku hanya berharap, cinta yang kutinggalkan di dunia tetap menjadi pengikat yang abadi antara aku dan Baruna. Cinta mereka adalah abadi, melampaui waktu dan batas dunia. Di hati Baruna, aku tetap ada, seperti bintang yang bersinar di langit malam yang gelap.
Cibadak, 10 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H