"Terima kasih, Ma. Aku bahagia hari ini." Aku tersenyum lemah.
Baruna duduk di depanku dengan senyum penuh keyakinan. Di balik senyum itu, ada kesedihan yang ia sembunyikan. Ia tahu, waktu yang tersisa bersamaku tak akan lama, tetapi ia tetap memilih untuk memperjuangkan aku sampai akhir.
Saat ijab kabul diucapkan, suasana ruangan dipenuhi oleh haru yang tak terbendung. Sahabat-sahabatku meneteskan air mata begitu juga mama. Beberapa tamu menunduk dan menyembunyikan air mata mereka.
Setelah kata "sah" terdengar, Baruna memelukku dengan erat, seolah ingin melindungi dari segala rasa sakit yang aku rasakan ini.
"Aku mencintaimu, Tiur," bisiknya di telinga seraya memeluk tubuhku.
"Aku juga mencintaimu, Baruna. Terima kasih... untuk segalanya." Aku tersenyum kecil, meski bibirku mulai pucat.
Sesaat setelah kata-kata itu terucap, tiba-tiba tubuhku kejang-kejang, seperti ada aliran listrik yang menyentak seluruh sarafku. Baruna panik, memelukku erat-erat, memanggil namaku berulang kali, tapi suara itu terdengar semakin jauh, seperti angin yang berbisik di kejauhan. Kemudian tubuhku melemas, lunglai dalam pelukannya.
Aku tak merasakan apa-apa lagi, hanya ada keheningan yang memelukku. Seolah waktu berhenti, aku merasakan diriku melayang, ringan, terbebas dari semua rasa sakit yang selama ini membebani. Tubuhku yang terbaring dalam pelukan Baruna terlihat asing, hanya cangkang kosong yang kehilangan nyawanya. Aku melihat wajah Baruna yang memucat. Matanya memancarkan kesedihan yang tak terlukiskan.
Di sekelilingku, dunia tampak memudar, berganti dengan kilasan-kilasan ingatan---tawa kami di taman, malam-malam penuh cerita, dan mawar putih yang selalu ia bawa. Aku ingin menyentuhnya, ingin mengatakan bahwa aku baik-baik saja, tapi jarak di antara kami terasa seperti jurang yang tak terjembatani.
Perlahan, cahaya lembut mulai menyelimuti pandanganku, hangat dan menenangkan. Aku tahu, inilah akhir bagi tubuhku, tetapi mungkin awal bagi sesuatu yang baru. Aku hanya berharap, cinta yang kutinggalkan di dunia tetap menjadi pengikat yang abadi antara aku dan Baruna. Cinta mereka adalah abadi, melampaui waktu dan batas dunia. Di hati Baruna, aku tetap ada, seperti bintang yang bersinar di langit malam yang gelap.
Cibadak, 10 Desember 2024