Hati Listi terasa remuk. Ia tahu Derana sering kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah. Meski sudah berusaha keras, tetap saja putrinya tidak pernah mencapai nilai seperti anak-anak lain. Tapi mendengar Derana menyebut dirinya bodoh membuat hati Listi terasa seperti dihujani duri.
"Kamu nggak bodoh, Nak. Kamu anak yang kuat, jauh lebih kuat daripada yang kamu pikirkan," ucap Listi, menggenggam tangan Derana dengan erat. Tapi gadis kecil itu menarik tangannya, melipatnya di dada seolah ingin melindungi dirinya dari dunia yang terasa begitu keras.
"Teman-teman nggak peduli, Bu. Aku cuma capek," bisik Derana akhirnya, sebelum menunduk dalam-dalam. Tangisnya pecah perlahan, membuat hati Listi ikut merasa runtuh.
Saat itu, Listi menatap langit-langit ruang tamu sambil mencoba mengatur pikirannya. Ingatan akan masa kecil Derana menyeruak, membawa kembali kenangan pahit saat pertama kali putrinya dinyatakan tuli setelah mengikuti serangkaian tes dan observasi. Dokter saat itu dengan enteng berkata, "Puteri ibu deaf dengan ambang dengar 80 disabel.
Dunia Listi dan suaminya terasa runtuh seketika. Listi  bertanya-tanya, apa yang salah? Apa yang terlewat? Air matanya tak bisa dibendung setiap kali ia membayangkan bagaimana Derana akan tumbuh tanpa mendengar suara dunia: tawa, musik, bahkan suara panggilannya sebagai seorang ibu.
Ketika alat bantu dengar akhirnya dipasang, Listi merasakan emosi yang campur aduk. Ada rasa lega, tapi juga rasa takut---takut Derana akan merasa berbeda, takut dunia tidak cukup ramah untuk menyambutnya. Saat alat itu menyala dan Derana tiba-tiba mendengar suara yang samar, matanya melebar. "Ta...apa itu suara?" tanyanya dengan polos. Air mata Listi kembali mengalir, kali ini bukan karena sedih, melainkan haru.
Setiap hari, Listi menemani Derana belajar mengenali suara yang selama ini asing baginya. Ia bersabar saat Derana merasa kecewa, memeluknya erat saat dunia terasa begitu sulit. Bagi Listi, perjalanan ini bukan hanya tentang pendengaran Derana, tetapi juga tentang kekuatan cinta seorang ibu yang tak pernah lelah berjuang.
Kini, setiap kali mendengar Derana bertanya dengan suara yang mulai jelas, Listi tahu bahwa meskipun perjalanan ini berat, ia tidak akan menyerah. Karena bagi seorang ibu, kebahagiaan anaknya adalah suara paling merdu yang tak tergantikan---bahkan dalam keheningan.
Dalam kalbu, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa apapun yang terjadi, ia akan mencari tempat yang lebih baik untuk Derana, tempat di mana tawa kecil itu bisa terdengar lagi.
Cibadak, 22 November 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H