Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

(Cerpen) Aku Ingin Duniamu Tak Lagi Sunyi

22 November 2024   12:19 Diperbarui: 27 November 2024   07:05 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input Keterangan & Sumber Gambar (https://depositphotos.com/

"Maaf, Bu, tapi kami tidak menerima anak berkebutuhan khusus. Kami tak punya kemampuan untuk itu." Kepala sekolah berbicara sedikit pongah.

Kata-kata itu menghujam Listi seperti pisau tajam. Ia mencoba menjelaskan bahwa Derana bisa berkomunikasi seperti anak-anak lain karena Derana telah mengikuti terapi bicara sejak usia dua tahun, Namun, kepala sekolah hanya menggelengkan kepala, seolah kemampuan Derana tak pernah cukup. Hari itu, Listi pulang dengan langkah berat, menggenggam tangan Derana yang tak mengerti mengapa ia tak bisa bermain seperti anak-anak lain. 

Perjalanan Derana tak pernah mudah. Meski akhirnya diterima di sekolah lain, ia sering kali merasa sendirian. Kemampuan akademiknya yang lebih rendah dari teman-temannya membuatnya sulit mengikuti pelajaran, dan itu menjadi alasan sebagian besar anak menjauh darinya.

Saat jam istirahat, Derana lebih sering duduk sendiri di pojok taman sekolah, menggambar di buku kecilnya, mencoba menutupi luka di hatinya dengan warna-warna ceria. Gadis kecilnya tumbuh menjadi gadis pendiam, yang jarang bicara kecuali jika diajak terlebih dahulu, dan rasa percaya dirinya perlahan terkikis. Listi hanya bisa menyaksikan dengan perasaan campur aduk---antara bangga melihat Derana tetap berusaha, dan terluka karena dunia belum sepenuhnya menerima anak istimewanya.

Langit pagi masih berbalut mendung tipis ketika Listi memperhatikan Derana yang masih duduk di meja dan mencoret-coret kertas sketsanya. Dia sesekali memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Listi tahu ada sesuatu yang mengganggu putrinya, tapi ia tak tahu bagaimana memulai percakapan tanpa menyakiti hatinya. Sudah seminggu ini Derana lebih banyak diam, tenggelam dalam dunianya sendiri, dan itu membuat hati Listi gundah.

"Sayang, ada yang mau kamu ceritakan ke Ibu?" Listi akhirnya bertanya dengan nada lembut, berusaha menyentuh hati kecil Derana. Tangannya terulur, menyentuh rambut gadis kecil itu dengan penuh kasih.

Derana menggeleng pelan, lalu menunduk. Dia menjawab pendek, "Tidak apa-apa, Bu." Jawabannya mungkin singkat, tapi tatapan matanya yang mulai berkaca-kaca berkata sebaliknya.

Listi menarik kursi dan duduk di sampingnya. "Ibu tahu ada sesuatu yang kamu rasakan. Ceritakan ke Ibu, ya?" bujuknya, mencoba menghapus jarak di antara mereka.

Tiba-tiba, Derana meletakkan pensilnya dengan suara yang sedikit keras. Ia mengangkat wajah, menatap ibunya dengan raut yang penuh luka. "Aku mau pindah sekolah, Bu!" katanya. Suaranya terdengar gemetar, seperti memaksa keluar dari tenggorokan yang tercekat.

Listi terkejut. "Kenapa kamu mau pindah? Apa ada yang terjadi di sekolah?" tanyanya, berusaha menyembunyikan nada khawatir yang mulai merambati suaranya.

"Aku nggak mau sekolah di sana lagi. Teman-teman nggak suka sama aku. Mereka sering bilang aku bodoh," kata Derana dengan suara yang lemah namun penuh beban. "Dan aku tahu itu benar, Bu. Aku nggak pintar."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun