"Meskipun dunia ini penuh dengan penderitaan, dunia ini juga penuh dengan cara untuk mengatasinya." Helen KellerÂ
Listi menatap Derana dengan hati yang remuk. Gadis kecil itu duduk di sudut ruang tamu, menggambar sesuatu di buku sketsanya dengan pensil yang tergores pelan, hampir tanpa suara. Gambar benang kusut menghias kertas sketsa berukuran A4 dengan goresan berwarna warni. Kebiasaan yang selalu dilakukan Derana jika sedang terbelenggu gundah.
"Ibu, aku mau pindah sekolah," ujar Derana tiba-tiba membuat dada Listi terasa sesak.
Mata kecil itu memancarkan keindahan, tetapi juga berbalut kepedihan yang tak bisa disembunyikan. Setiap kata yang Derana sampaikan seolah-olah menelusup ke dalam relung hati Listi, menampilkan gambaran betapa beratnya dunia yang harus putrinya hadapi.
Sekolah, tempat yang seharusnya menjadi ruang aman untuk belajar dan bertumbuh, malah menjadi sumber keresahan bagi Derana. Lingkungan yang seharusnya ramah dan mendukung terasa seperti labirin penuh tantangan yang sulit dilalui. Kurangnya pemahaman guru dan teman-temannya tentang kebutuhannya, serta tekanan untuk memenuhi standar yang sama seperti siswa lainnya membuat Derana sering merasa terasing. Belum lagi hinaan yang menggores hati Derana karena dirinya tak memiliki kemampuan seperti teman-teman normal lainnya.
Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat di mana semua anak, tanpa terkecuali, dapat merasa nyaman dan diterima, justru menjadi pengingat baginya bahwa ia berbeda. Padahal sekolah dapat menjadi tempat yang menguatkan, bukan melemahkan.
Listi hanya bisa menggenggam tangan Derana, berusaha menawarkan kekuatan yang kini terasa rapuh. Setiap skenario melintas di benaknya seperti kilatan petir di malam gelap. Mata Listi berair, namun ia menahan diri untuk tidak menangis di depan putrinya. Ia ingin terlihat kuat, meski hatinya luluh lantaran mendengar permintaan itu.
Listi mengingat masa-masa awal Derana belajar bicara, saat ia harus mengulang satu kata sederhana berkali-kali hingga puteri kecilnya itu paham. Bertahun-tahun dia berjuang agar bidadarinya itu memiliki kemampuan berbicara normal meskipun dengan  alat bantu dengar di kedua telinganya. Kini Derana tumbuh seperti gadis kecil lainnya meskipun kemampuan akademik Derana selalu berada di bawah teman-temannya. Itu bukan karena ia tak berusaha. Derana selalu bekerja keras, bahkan lebih dari anak lain.
Namun di sekolah, lingkungan yang keras dan kurang pemahaman sering kali membuatnya merasa kecil. Setiap tatapan tajam, bisik-bisik yang tak terdengar jelas, atau tawa samar dari teman-temannya adalah luka kecil yang terus bertumpuk. Sekarang, ketika Derana meminta pindah sekolah, Listi tahu betapa berat keputusan itu bagi putrinya.
"Kita akan cari tempat yang lebih baik untukmu," bisik Listi dalam hati. "Tempat di mana kau bisa merasakan cinta lebih jelas daripada cercaan." Dia memeluk Derana, berusaha menyalurkan kekuatan yang tak selalu dia miliki.
Listi tak pernah melupakan hari itu, saat ia pertama kali membawa Derana mendaftar ke taman kanak-kanak. Listi menjelaskan keadaan Derana kepada kepala sekolah.