"Andi bukan cuma ngebully di kelas. Dia juga suka minta uang dari anak-anak lain di luar sekolah. Kalau nggak dikasih, dia ngancam mereka."
Ucapan itu membuat Gendis tertegun. Namun, sebelum ia sempat merespons, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari arah koridor. Pak Ardian muncul kembali, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Gendis, Adinda!" panggilnya dengan nada mendesak. Gendis segera kembali ke dalam UKS, diikuti Alika. Di sana, Adinda sudah duduk di tempat tidur dengan wajah yang pucat pasi. Matanya membelalak, tubuhnya menggigil.
"Dia ada di sini..." bisik Adinda dengan suara bergetar, menunjuk ke jendela.
Gendis dan Pak Ardian segera menoleh, namun yang mereka lihat hanya tirai yang perlahan bergoyang diterpa angin. Meski begitu, ada sesuatu yang tidak wajar. Kertas yang sebelumnya berada di meja kecil di dekat jendela kini berjatuhan di lantai.
Pak Ardian mengantarkan Adinda pulang. Sejak hari itu Adinda tak terlihat di sekolah. Menurut Pak Ardian, Adinda sakit. Pikiran Gendis dipenuhi bayangan Adinda yang ketakutan. Kata-kata Adinda terus terngiang di telinganya. Ia tahu ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, dan ia harus mengambil langkah.
Sepulang sekolah Adinda, Alika, dan beberapa teman lainnya menengok Adinda ke Panti Asuhan. Mereka membawa buket bunga mawar merah yang sangat cantik. Anehnya, suasana panti sangat ramai. Di pintu gerbang ada bendera kuning. Gendis menghentikan langkahnya begitu melihat bendera kuning yang berkibar di gerbang panti asuhan. Hatinya mencelos, seperti ada yang mencengkram erat dadanya. Teman-temannya yang ikut menengok juga terdiam, saling menatap dengan wajah penuh kecemasan.
"Kenapa ada bendera kuning?" bisik Alika, suaranya bergetar.
Tanpa menjawab, Gendis mempercepat langkahnya menuju pintu utama. Di sana, suasana penuh isak tangis menyambutnya. Para penghuni panti berdiri berkumpul di ruang tamu, sebagian besar menunduk sedih, beberapa memeluk satu sama lain untuk saling menguatkan. Di tengah ruangan, terlihat sebuah peti kecil yang dikelilingi bunga mawar merah.
"Tidak mungkin..." Gendis bergumam, langkahnya goyah.
Seorang pengasuh mendekati mereka, wajahnya sembap karena menangis. "Kalian Gendis dan teman-temannya, ya?" tanyanya pelan.