Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Catatan Seorang Demonstran

19 September 2024   08:34 Diperbarui: 19 September 2024   08:34 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar https://nasional.tempo.co/

Aku percaya bahwa idealisme tidak akan pernah sepenuhnya hancur, meskipun kadang-kadang tampak seperti langit yang gelap. Aku masih percaya pada perubahan dan keadilan, dan aku akan terus berjuang untuk itu, meskipun aku harus melakukannya dengan cara yang sederhana dan kadang-kadang melelahkan. Karena di ujung jalan, apa yang penting adalah tetap berpegang pada prinsip yang benar, bahkan ketika segala sesuatu di sekelilingmu tampak melawan.

Langit Jakarta siang itu panas. Di jalanan, ribuan orang bersatu dalam satu suara, satu tujuan: reformasi atau mati. Rakyat yang sudah lama terluka oleh ulah para penguasa bergerak menuju perubahan. Rakyat menuntut kesejahteraan bukan milik segelintir orang.

Di atas truk yang berjalan pelan melewati barikade manusia, aku berdiri menggenggam mikrofon. Suara-suara di sekitarku, bergema sejagat raya. Hari ini adalah momen yang tak mungkin terulang. Aku berorasi memberikan motivasi untuk gerakan reformasi nasional.

Andi, sahabatku sejak tahun pertama kuliah, berdiri di sampingku dengan mata membara, matanya sama tajamnya dengan teriakan yang kami lontarkan. Kami bukan lagi mahasiswa biasa. Kami adalah bagian dari sejarah yang akan dikenang. Sebuah perjalanan yang akan membawa perubahan di negeri ini.

"Demi rakyat! Demi masa depan. Sudah saatnya kita berubah. Kesejahteraan bukan milik segelintir warga, kesempatan pekerjaan bukan milik keluarga. Kami berhak hidup sejahtera!" teriakku keras, suara mikrofon nyaris tak cukup kuat untuk menandingi hiruk-pikuk massa. Tanganku gemetar bukan karena takut, melainkan karena derasnya adrenalin yang mengalir.

 Andi mengepalkan tangan di udara, memandu nyanyian lagu nasionalisme dan perlawanan yang dengan cepat diikuti oleh ribuan suara. Suara-suara itu menyatu, membentuk gelombang yang semakin besar, menerjang tiang-tiang kekuasaan yang selama ini tak tersentuh.

Aku bisa merasakan detak jantung di dadaku, menghantam tulang iga dengan cepat. Suasana begitu panas---secara harfiah dan emosional. Aku, Andi dan beberapa mahasiswa berorasi tak henti, bergantian.

Di depan kami, barisan aparat berseragam berdiri kaku, perisai mereka memantulkan cahaya yang menyilaukan mata. Namun, tak ada yang gentar. Dalam diri kami, ada keyakinan yang lebih besar daripada ketakutan itu sendiri.

Andi berbisik di telingaku, "Hari ini kita bersuara untuk rakyat yang tak pernah didengar." Aku mengangguk, lalu kembali berteriak di kerumunan.

Teriakan kami semakin lantang, semakin jelas, sementara di kejauhan, angin membawa aroma kebebasan yang kian mendekat. Perubahan hidup bagi seluruh rakyat di negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun