Saat itulah aku menyaksikan sebuah peristiwa yang luar biasa.Tanpa sengaja saat aku pergi ke toilet, aku melihat Andi--sahabatku, sedang duduk bersama tiga orang yang sangat kukenal. Mereka sedang menikmati kopi. Mereka duduk di tempat yang tersembunyi di sudut kafe, tertutup oleh pohon akasia. Di meja tampak sebuah koper besar berwarna hitam.
Sebagai seorang jurnalis, aku mencium sesuatu yang mencurigakan dengan mereka. Dengan diam-diam, aku mendekat ke tempat duduk mereka dan merekam percakapan mereka diam-diam.
"Aku akan berusaha mengoalkan tender ini. Asal kalian tidak melupakan aku." Suara Andi terdengar berbisik.
"Santai, Pak! Kami sudah siapkan semuanya. Ini baru separuh, setelah pasti kami akan berikan sisanya." Salah satu dari kedua orang itu berbicara.
Aku tak jelas karena mereka memunggungi kamera. Kemudian mereka menyerahkan koper . Andi membuka sebentar koper itu. Dan isinya membuat aku sangat terkejut. Koper itu berisi gepokan uang.
Aku segera menyingkir setelah merekam itu semua. Demi keamanan keluarga, aku segera mengajak Aina dan Hasna untuk pulang. Aku tak mau mereka tahu apa yang tadi aku lakukan.
Setelah tiba di rumah, aku masuk ke ruang kerjaku. Kubuka rekaman, dan aku menyimpannya di beberapa file yang berbeda-beda dan di beberapa akun pribadi. serta di beberapa diska untuk berjaga-jaga.
Setelah kembali ke rumah, aku tidak bisa berhenti memikirkan peristiwa yang baru saja kulihat di kafe itu. Sahabat yang selama ini ku percaya, yang bersamaku berteriak untuk reformasi dan keadilan, kini terlibat dalam sesuatu yang kelihatannya kotor. Andi, orang yang dulu berdiri tegak di sampingku di atas truk orasi, kini duduk dalam kesunyian, melakukan transaksi yang menodai semua yang pernah kami perjuangkan.
Aku duduk di ruang kerjaku, menatap layar laptop dengan rekaman yang masih terputar. Tanganku berkeringat dingin. Ini bukan sekadar kasus korupsi biasa. Ini adalah sahabatku, Andi---orang yang pernah berbagi cita-cita besar tentang masa depan negeri ini. Apakah aku tega untuk mengungkapnya? Apakah aku bisa mengkhianati pertemanan kami demi kebenaran?
Di satu sisi, ada idealisme yang dulu ku kobarkan saat masih menjadi mahasiswa. Di sisi lain, ada persahabatan yang bertahun-tahun terjalin, bersama dengan risiko yang mungkin mengancam keluargaku. Suara Andi dalam rekaman itu terus menggema dalam benakku: "Asal kalian tidak melupakan aku."
Bagaimana bisa dia melakukan ini? Bukankah dulu kami sama-sama berjuang agar tidak ada lagi penyalahgunaan kekuasaan seperti ini? Tetapi di sisi lain, aku tahu bahwa jika aku tidak melakukan apa-apa, aku juga ikut menjadi bagian dari kejahatan ini.