Setelah berminggu-minggu diterjang ketidakpastian, hari yang kami tunggu akhirnya tiba. Suara demonstrasi yang bergema dari seluruh penjuru negeri tak bisa lagi diabaikan. Ketika pengumuman itu disiarkan---bahwa kekuasaan yang selama ini mencengkeram erat akhirnya runtuh---tangis haru pecah di antara massa.
Aku dan Andi saling pandang di tengah mahasiswa yang berjingkrak-jingkrak merayakan kemenangan. Kami menyaksikan pengumuman lengsernya Sang penguasa negeri. Kami berhasil. Reformasi yang kami impikan, yang kami perjuangkan dengan darah dan keringat, kini nyata di hadapan kami. Kami memeluk satu sama lain, bahu kami basah oleh keringat dan air mata, tapi beban yang kami pikul selama ini seolah lenyap begitu saja.
Namun, keberhasilan ini datang dengan harga yang tak murah. Beberapa mahasiswa hilang bahkan ada yang gugur.
Setelah orasi terakhir di depan Gedung DPR dan kami lulus, Andi diterima sebagai aktivis politik di salah satu partai terkemuka, suaranya selalu didengar dalam diskusi-diskusi penting tentang masa depan bangsa. Sementara aku, yang dulu berdiri bersamanya di atas truk demonstran, memilih jalan yang berbeda.Â
Aku menjadi jurnalis, merekam setiap detik perubahan yang terjadi di negeri ini, dari reformasi hingga demokrasi. Setiap artikel yang ku tulis, mengingatkan kembali suara ribuan mahasiswa yang dulu berseru di bawah terik matahari, termasuk suara Andi yang kini menjadi bagian penting dari perubahan.
Kami berdua telah memilih jalan masing-masing, tapi perjuangan kami di masa lalu tak pernah usang. Setiap kali aku bertemu Andi di meja diskusi atau di jalanan yang dulu penuh sesak dengan demonstran, aku tahu, kami adalah dua wajah dari sebuah revolusi. Kami tak lagi sekadar mahasiswa yang memprotes, tapi bagian dari sejarah yang terus berjalan.
Kenangan itu terus melekat dalam benakku. Idealisme yang dulu ku junjung tinggi untuk membela kebenaran akan terus terpatri, dan ku implementasikan di dunia jurnalis yang aku geluti. Aku memburu berita dengan gigih demi memperoleh fakta yang disertai bukti valid.
Aku sering diprotes oleh Aina-- isteri yang ku nikahi setelah reformasi-- karena sering tidak pulang. Hasna-- puteri semata sayangku-- juga ikutan ngambek jika tak bertemu denganku yang sedang meliput suatu peristiwa.
Siang ini, aku memaksakan diri untuk cuti karena permintaan mereka. Hari ini adalah ulang tahun Hasna ke lima belas. Hasna lahir dua tahun setelah peristiwa reformasi. Kami merayakan di sebuah cafe sepi yang jauh dari kota. Kami sengaja memilih tempat yang tidak terlalu ramai.
Terletak di ujung jalan berliku yang melintasi sawah-sawah hijau dan hutan kecil, kafe ini menyambut pengunjung dengan nuansa pedesaan yang tenang. Bangunannya terbuat dari kayu dengan jendela-jendela besar yang menghadap ke hamparan perbukitan, seakan mengundang angin segar masuk ke dalam. Di teras, terdapat kursi-kursi rotan yang ditemani meja-meja dari bambu, menciptakan suasana nyaman untuk bercengkerama atau sekadar menikmati secangkir kopi.
 Aroma tanah basah dan bunga liar yang mekar di sekitar kafe menambah kehangatan, membuat tempat ini cocok untuk mereka yang ingin melarikan diri dari hiruk-pikuk kota dan bersantai dalam damainya alam pedesaan.