Bimo terdiam. Kata-kata itu menusuk ke dalam dirinya. Ia memang tahu dirinya terjerumus dalam hidup yang penuh dosa, tapi mendengar ayahnya mengucapkan hal itu membuat hatinya terasa hancur. Seakan ada tembok yang roboh di dalam dirinya, menguak kenyataan yang selama ini ia coba abaikan.
"Bertobatlah, Nak, sebelum waktu yang kau miliki usai." Nasihat Ayah pendek seraya  tersenyum ke arahnya.
"Ayah... aku tak pantas. Aku terlalu kotor, terlalu banyak dosa yang sudah aku lakukan." Suara Bimo melemah, tak ada lagi sisa amarah atau penolakan. Yang tersisa hanyalah kepasrahan dan rasa malu yang mendalam.
Sang ayah menatapnya dengan tatapan penuh kasih. "Allah Maha Pengampun, Bimo. Sebesar apapun dosa yang kamu lakukan, Allah akan selalu membuka pintu taubat bagi hamba-Nya yang mau kembali. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk dimaafkan, selama kamu benar-benar menyesal dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi."
Bimo terdiam. Hatinya mulai terasa hangat, meskipun di satu sisi rasa takut masih menyelimuti dirinya. "Tapi, bagaimana caranya, Ayah? Hidupku sudah terlanjur rusak. Aku tak tahu harus mulai dari mana."
"Mulailah dari langkah kecil, anakku. Jauhkan dirimu dari hal-hal yang membuatmu jatuh. Tobat bukan tentang mengubah segalanya dalam satu malam. Tobat adalah perjalanan panjang, dan kamu hanya perlu memulai langkah pertama. Tinggalkan dosa-dosa itu, bersihkan hatimu dengan istighfar, dan dekati Allah."
"Ayah... apakah Allah benar-benar akan menerimaku?" tanya Bimo dengan suara pelan, nyaris seperti anak kecil yang mencari kepastian.
Ayahnya tersenyum. "Allah selalu menerima siapa pun yang ingin kembali pada-Nya. Ingatlah, Bimo, Rasulullah bersabda bahwa Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya daripada seorang yang kehilangan untanya di padang pasir, lalu menemukannya kembali. Itu menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah."
Air mata kembali menggenang di mata Bimo. Ia sudah begitu jauh dari agama, dari kasih sayang Allah dan Rasul-Nya. Namun kini, meski dalam keputusasaan, ia merasakan panggilan yang kuat---panggilan untuk kembali. Cahaya itu kembali memancar dihadapannya sehingga menyilaukan matanya. Dia menutupi matanya agar tak sakit karena cahaya yang sangat terang itu.
Suara adzan menyadarkan Bimo yang tergeletak di trotoar. Ia bangkit perlahan, tubuhnya terasa lemah, namun hatinya terasa kuat. Lantunan salawat masih terdengar dari masjid yang tak jauh dari sana, mengisi udara pagi dengan kedamaian. Bimo tahu, ini adalah tanda. Waktunya untuk memulai langkah baru. Langkah menuju Allah dan Rasulullah, langkah yang selama ini ia hindari karena rasa malu dan dosa yang menumpuk.
Dengan napas panjang, Bimo melangkah menuju masjid. Matahari belum sepenuhnya terbit, tapi di dalam hatinya, sebuah fajar baru telah menyingsing, membawa cahaya harapan yang tak pernah ia kira akan datang.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!