"Tidak... aku ini kotor..." Bimo bergumam, suaranya parau.
Namun, suara salawat itu terus bergema di udara, mengguncang batinnya yang rapuh. Tubuhnya mulai bergetar, kakinya lemas, seakan kehilangan tenaga. Ia terjatuh di atas trotoar yang dingin, badannya menggigil hebat. Udara terasa semakin dingin dan tubuhnya dilanda demam mendadak. Semuanya tampak kabur di depan mata, dunia seakan berputar, dan dalam hitungan detik, kesadarannya hilang, terhisap oleh kegelapan yang tak terhingga
Tiba-tiba seberkas cahaya itu hadir di hadapannya dan memberikan kehangatan dalam jiwanya. Di kejauhan, ia melihat seseorang yang berdiri di bawah pohon besar. Sosok itu di penuhi cahaya yang sangat terang. Cahaya yang memberikan ketenangan, yang menjalar hingga ke hati.
Rasa rindu yang mendadak hadir di sudut hatinya tiba-tiba membuncah. Air mata mengalir tanpa diminta, membasahi pipinya. Ia mencoba berjalan mendekat, namun setiap kali ia melangkah, sosok itu tampak semakin jauh.
Tiba-tiba dari sebelah kanan sesosok wajah yang sangat dikenalnya hadir dengan senyum yang menyejukkan. Sosok laki-laki yang sudah sepuluh tahun ini meninggalkan Bimo dan ibunya.
Bimo terhuyung mundur, matanya membelalak tak percaya melihat sosok di depannya. Wajah itu, senyum itu, tak mungkin salah. Itu adalah ayahnya, sosok yang sudah sepuluh tahun meninggalkan ia dan ibunya, sosok yang selalu dirindukannya dalam kesunyian malam.
"Ayah, benarkah ini engkau?" Suara Bimo pecah, hatinya bergetar. Ia berlari mendekat, tapi tubuhnya seolah tertahan oleh kekuatan tak terlihat. Napasnya tersengal, penuh dengan perasaan yang bercampur aduk---bahagia, haru, dan juga kebingungan.
Ayahnya tersenyum lembut, wajahnya tampak bersih, jauh dari guratan kelelahan yang Bimo ingat. Tubuhnya diselimuti cahaya lembut yang menyejukkan. Kenangan akan kepergian ayahnya tanpa kabar menghantui Bimo. Kehilangan figur ayah di usia muda membuatnya terjatuh dalam kehidupan yang salah---alkohol, pergaulan bebas, dan semua dosa yang ia sesali.
Ayahnya menunduk sesaat, seolah turut merasakan penderitaan yang dialami anaknya. "Maafkan Ayah, Bimo. Ayah tidak pernah ingin meninggalkan kalian. Takdir Ayah harus ada di sini, untuk menyampaikan sesuatu."
Bimo menatap lekat ke arah ayahnya. Ada ketenangan dan kehangatan yang terpancar dari sosok itu, sesuatu yang menenangkan hatinya yang kacau.
Ayahnya melangkah maju, mendekatkan diri. "Bimo, kamu telah tersesat dalam hidupmu. Kamu tahu itu, kan?"