Wira menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya ke langit, yang kian merona jingga.
"Kalau saja kau tahu betapa dalam perasaanku ini. Aku ingin melindungimu, seperti Pandawa melindungi Drupadi. Cinta ini bukan sekadar rasa kagum. Ini lebih dari itu. Ini seperti janji yang tak terucapkan. Aku ingin kau merasa aman, merasa dicintai, tetapi aku terlalu takut kehilanganmu bahkan sebelum aku memiliki kesempatan untuk mengatakan perasaanku."
Matanya menatap hampa, merasa terjebak dalam kesunyian yang ia ciptakan sendiri.Wira tersenyum getir, menundukkan kepala.
"Mungkin, memang ini takdirku. Menjaga perasaan ini tanpa pernah mengungkapkannya. Cukup dengan mencintaimu dari kejauhan. Selama kau bahagia, itu sudah cukup bagiku. Tapi, mengapa hatiku tetap meronta setiap kali kau tersenyum tanpa tahu perasaanku?"
Senyap kembali menyelimuti ruangan, dan Wira menyadari satu hal---cintanya pada Kanaya adalah pengorbanan tanpa kata, sebuah janji untuk selalu ada, meski tak terungkapkan.
Pertemuan dengan Kanaya tak kunjung hilang dari pikiran Wira. Setiap sudut kota Bandung mengingatkannya pada malam itu---festival wayang golek, lantunan sinden yang memikat, hingga senyum Kanaya yang selalu hadir di mimpinya. Wira mulai sering berkunjung ke tempat latihan Kanaya, dengan harapan bisa bertemu dengannya lagi. Namun, setiap kali bertemu, kata-kata seakan tertahan di tenggorokannya.
Pada suatu hari, Wira kembali datang ke tempat latihan. Ia melihat Kanaya sedang berdiri sendirian di sudut panggung, memandang ke arah langit yang berwarna jingga. Keindahan matahari terbenam memantulkan cahaya pada wajahnya yang terlihat tenang, namun ada kesedihan di balik senyumnya.
"Kenapa kau selalu datang, tapi tak pernah bicara?" suara lembut Kanaya memecah keheningan, membuat jantung Wira berdegup kencang. Dia kaget, tak menyangka Kanaya menyadari kehadirannya.
"Aku...," Wira mencoba berkata, namun kalimat itu terhenti. Dalam benaknya, bayangan Drupadi kembali muncul. Sosok yang penuh kehormatan, kekuatan, dan kecantikan. Ia merasa tak pantas mengungkapkan perasaannya pada Kanaya, seolah mencintainya adalah hal yang begitu sakral, terlalu sempurna untuk dirusak dengan kata-kata.
"Kadang, kita tidak perlu mengucapkan apapun untuk mengungkapkan perasaan," ujar Kanaya sambil tersenyum lembut, seakan mengerti apa yang ada di pikiran Wira. "Tapi, hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan rasa dalam diam. Akhirnya yang tersisa penyesalan yang tak bertepi."
Kata-kata itu bagaikan petir di hati Wira. Kanaya benar. Namun, sebelum Wira bisa merespon, seorang pria datang menghampiri mereka---tinggi, tampan, dengan aura percaya diri yang kuat.