Rumah nomor tiga belas di Jalan Kenari selalu menjadi pusat perhatian ketiga gadis remaja. Terutama setelah seorang pria tampan sering terlihat keluar masuk ke sana. Pria itu sering terlihat keluar rumah menjelang senja, mengenakan pakaian rapi dengan senyuman manis yang membuat jantung para gadis remaja itu berdebar lebih cepat.
Lana, Sarah, dan Vina adalah tiga gadis yang paling terobsesi dengan pria itu . Setiap kali pria itu muncul di beranda rumahnya, mereka tak ragu untuk berdiri di pagar atau pura-pura lewat hanya untuk sekilas bertukar pandang. Mereka berusaha untuk mencari perhatian pria itu.
Mereka baru pindah ke daerah itu. Letak rumah kontrakan mereka berada serratus meter dari rumah pria itu.
"Kamu lihat tidak? Dia senyum kepadaku tadi!" seru Lana, senyumnya lebar, seperti baru saja memenangkan lotre.
"Apaan sih, jelas-jelas dia senyum ke aku. Aku yang di depannya waktu itu," balas Sarah, menepis angin kosong sambil menggulung rambutnya yang panjang.
"Lagi-lagi kalian berdua ribut soal Zaki," ujar Vina dengan nada malas. "Dia bahkan mungkin tidak ingat nama kita?"
Namun, di dalam hati, Vina juga menyimpan perasaan yang sama. Bagaimana mungkin tidak? Zaki selalu tampak begitu sempurna dengan wajah tegas dan tatapan dalam yang seakan-akan menyimpan rahasia. Vina sendiri seringkali merasa hatinya berdebar hanya saat pria itu melewati rumah kontrakannya.
Suatu sore, ketiga gadis itu kembali nongkrong di depan rumah Lana, menunggu Zaki muncul. Namun kali ini berbeda. Zaki menghampiri mereka dengan langkah tenang, mengenakan kaus hitam dan celana jins.
"Aku undang kalian datang ke rumahku. Ada party kecil untuk menyambut kedatangan kalian.?" ujar Zaki sambil menyeringai kecil. Suaranya dalam dan berat, membuat suasana di antara mereka seketika berubah canggung.
Lana langsung mengambil alih kesempatan, "Iya,terima kasih. Aku Lana. Ini Sarah dan Vina."
Zaki mengangguk perlahan, kemudian berlalu dengan langkah yang tegap dan memesona. Tatapan mata kagum Lana, Sarah dan Vina mengiringinya.
"Hai! Selamat sore!" Suara keras membuyarkan kebahagiaan mereka. Seorang pemuda dengan sepeda listrik berada di hadapan mereka. Matanya berganti-ganti menatap ketiganya.
"Sering nongkrong di sini, ya? Aku sering melihat kalian mengamati rumah itu. Ada apa? Kalian tidak takut dengan cerita-cerita tentang rumah itu?"
Ketiganya saling berpandangan, bingung. "Cerita apa?" tanya Sarah penasaran.
Pemuda itu tersenyum tipis, lalu melirik ke arah rumah nomor tiga belas di belakangnya. "Tidak apa-apa sih. O ... ya, kenalkan. Saya Prima, anak bungsu Pak Ridwan---Ketua RT."
Mereka berkenalan dengan saling berjabat tangan dan menyebutkan nama masing=masing.
"Sebentar, jelaskan kepada kami maksud ucapanmu tadi?" kejar Sarah sambil menuntut penjelasan Prima.
"Rumah itu berhantu," jawab Prima sambil berlalu meninggalkan ketiga gadis itu.
Vina tertawa kecil. "Ah, Prima, tidak mungkin rumah seindah itu berhantu. Lagian kami sudah bertemu dengan penghuninya tadi. Kalau berhantu, dia tidak mungkin betah."
"Ya, kalau kalian tidak percaya tak apa. Hati-hati saja," teriak Prima seraya tersenyum.
Ketiga gadis itu terdiam sejenak, merasa ada sesuatu yang aneh dari peringatan tersebut. Tapi sebelum ada yang bisa menjawab, Prima sudah melambai dan menghilang di pertigaan.
Lana, Sarah, dan Vina terdiam setelah kepergian Prima. Canda tawa di antara mereka perlahan memudar, tergantikan oleh rasa penasaran yang tak terbendung. Kengerian cerita tentang rumah nomor tiga belas mulai menggantung di udara, seolah-olah kata-kata Prima tadi adalah mantra yang menyebarkan keraguan. Namun, ketiganya segera menepis pikiran itu.
"Sudahlah, Prima hanya mencoba menakut-nakuti kita," ucap Lana, suaranya terdengar tidak terlalu yakin.
"Ya, tidak mungkin ada yang aneh di sana. Zaki begitu sempurna," tambah Sarah sambil melipat tangan di dada. Namun, ada sedikit ketidaknyamanan di wajahnya.
"Aku rasa kita harus tetap datang ke undangannya. Siapa tahu ini kesempatan kita mengenal dia lebih dekat," saran Vina.
Keesokan malamnya, mereka bertiga memutuskan untuk menghadiri "party" yang diadakan Zaki. Ketika mereka tiba di rumah nomor tiga belas, pintu depan sudah terbuka lebar, mengundang mereka masuk. Aroma dupa menyelimuti udara, menciptakan atmosfer yang aneh dan menekan.
Lana, Sarah, dan Vina saling bertukar pandang sebelum akhirnya masuk. Di dalam rumah itu, suasananya terasa sunyi dan gelap, berbeda dari ekspektasi mereka tentang sebuah pesta. Tidak ada musik, tidak ada keramaian, hanya ruang tamu yang penuh dengan lukisan-lukisan besar berbingkai emas yang terpampang di dinding.
"Zaki?" panggil Lana dengan suara lirih.
Tak lama, Zaki muncul dari sebuah pintu di sudut ruangan, masih dengan senyuman yang sama. "Selamat datang," ucapnya ramah, tetapi entah kenapa kali ini senyumnya terasa sedikit berbeda, seperti ada yang tersembunyi di balik tatapannya.
"Mana yang lain?" tanya Vina, mencoba melihat sekeliling, berharap menemukan orang lain.
Zaki tertawa pelan, suaranya bergema di dalam ruangan. "Kalian adalah tamu kehormatanku malam ini."
Ketiganya merasakan sesuatu yang tidak benar. Ruangan ini, suasana ini, dan Zaki sendiri terasa semakin janggal. Tapi sebelum mereka bisa berkata lebih jauh, Zaki mempersilakan mereka duduk di sofa tua yang ada di tengah ruangan.
"Aku ingin kalian mendengar sebuah cerita," kata Zaki dengan suara rendah, memecah keheningan. "Rumah ini... sudah ada di keluargaku selama beberapa generasi. Dan setiap generasi, kami harus menemukan tiga jiwa untuk... menghidupkannya."
Lana, Sarah, dan Vina membeku di tempat. "Apa maksudmu?" tanya Sarah, suaranya mulai bergetar.
Zaki tersenyum lebih lebar, matanya kini tampak lebih gelap dari sebelumnya. "Kalian sudah dipilih."
Saat itu juga, ketiga gadis itu merasakan ruangan seolah mulai berputar. Dinding-dinding yang tadinya terasa kokoh mulai bergoyang, seolah hidup. Lampu redup yang tergantung di langit-langit mulai berayun perlahan, menciptakan bayangan aneh di dinding yang bergerak seperti tangan-tangan hitam yang mendekati mereka.
"Zaki... kami harus pergi," Lana berbisik ketakutan, tangannya gemetar saat mencoba bangkit dari tempat duduk. Namun, tubuhnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menahannya di tempat.
"Kalian tidak akan bisa pergi," jawab Zaki dengan nada dingin. "Rumah ini sekarang sudah mengenali kalian."
Seketika itu juga, mereka mendengar bunyi langkah berat di atas mereka, seperti ada seseorang yang berjalan mondar-mandir di lantai dua. Kemudian, dari arah tangga, terdengar suara pintu berderit, dan sebuah bayangan gelap muncul di puncak tangga. Wujudnya samar-samar, tetapi jelas bukan manusia.
Vina menjerit, memeluk Sarah erat-erat. Lana mencoba bangkit, tetapi sekujur tubuhnya lemas. "Apa... apa yang kamu lakukan pada kami, Zaki?" tanyanya penuh ketakutan.
Zaki hanya tersenyum. "Kalian akan tahu, sebentar lagi."
Langkah-langkah itu semakin dekat, wujud hitam yang tadi di puncak tangga kini semakin terlihat jelas. Sebuah sosok yang menyerupai manusia, tapi wajahnya penuh dengan luka-luka menganga, matanya hitam pekat, dan tangannya terulur ke arah mereka.
"Sekarang giliran kalian," bisik Zaki, suaranya hampir terdengar seperti bisikan dari kegelapan.
Ketiganya mencoba berteriak, tetapi suara mereka tertahan di tenggorokan. Ruangan itu semakin gelap, semakin dingin, dan bayangan hitam itu semakin mendekat...
Tiba-tiba pintu rumah terbuka lebar, mengeluarkan bunyi keras. Prima berdiri di sana, napasnya tersengal-sengal. "Lari!" teriaknya.
Namun saat mereka berusaha bergerak, waktu terasa berhenti. Semua menjadi hening. Zaki tersenyum, matanya tertuju pada Prima yang terlihat panik di ambang pintu.
"Sudah terlambat," kata Zaki dengan suara yang dingin, bergema di antara dinding-dinding rumah tua itu.
Dan pada saat itu, semua lampu padam. Hanya kegelapan yang tersisa. Lana dan Sarah menangis dan berteriak-teriak minta tolong. Sementara Vina lebih tenang. Dia membacakan ayat-ayat suci yang diyakini dapat mengusir makhluk gaib.
Tiba-tiba lampu menyala terang, dan suara tepukan menggema di seluruh ruangan. Tampak Prisma, Zaki, Pak RT dan beberapa warga yang belum mereka kenal tersenyum lebar. Begitu juga dengan makhluk yang menyeramkan tadi.
"Selamat! Kalian memang hebat dan pemberani!" Prisma mendekati mereka,"Kami sedang memecahkan mitos dan berita hoaks tentang rumah ini." Ketiga gadis itu hanya mematung. Perasaan mereka campur aduk.
Sementara di balik jendela dapur sesosok bayangan hitam dan menyeramkan sedang memperhatikan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H