"Aku ingin kalian mendengar sebuah cerita," kata Zaki dengan suara rendah, memecah keheningan. "Rumah ini... sudah ada di keluargaku selama beberapa generasi. Dan setiap generasi, kami harus menemukan tiga jiwa untuk... menghidupkannya."
Lana, Sarah, dan Vina membeku di tempat. "Apa maksudmu?" tanya Sarah, suaranya mulai bergetar.
Zaki tersenyum lebih lebar, matanya kini tampak lebih gelap dari sebelumnya. "Kalian sudah dipilih."
Saat itu juga, ketiga gadis itu merasakan ruangan seolah mulai berputar. Dinding-dinding yang tadinya terasa kokoh mulai bergoyang, seolah hidup. Lampu redup yang tergantung di langit-langit mulai berayun perlahan, menciptakan bayangan aneh di dinding yang bergerak seperti tangan-tangan hitam yang mendekati mereka.
"Zaki... kami harus pergi," Lana berbisik ketakutan, tangannya gemetar saat mencoba bangkit dari tempat duduk. Namun, tubuhnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menahannya di tempat.
"Kalian tidak akan bisa pergi," jawab Zaki dengan nada dingin. "Rumah ini sekarang sudah mengenali kalian."
Seketika itu juga, mereka mendengar bunyi langkah berat di atas mereka, seperti ada seseorang yang berjalan mondar-mandir di lantai dua. Kemudian, dari arah tangga, terdengar suara pintu berderit, dan sebuah bayangan gelap muncul di puncak tangga. Wujudnya samar-samar, tetapi jelas bukan manusia.
Vina menjerit, memeluk Sarah erat-erat. Lana mencoba bangkit, tetapi sekujur tubuhnya lemas. "Apa... apa yang kamu lakukan pada kami, Zaki?" tanyanya penuh ketakutan.
Zaki hanya tersenyum. "Kalian akan tahu, sebentar lagi."
Langkah-langkah itu semakin dekat, wujud hitam yang tadi di puncak tangga kini semakin terlihat jelas. Sebuah sosok yang menyerupai manusia, tapi wajahnya penuh dengan luka-luka menganga, matanya hitam pekat, dan tangannya terulur ke arah mereka.
"Sekarang giliran kalian," bisik Zaki, suaranya hampir terdengar seperti bisikan dari kegelapan.