Kakek Ahmad, begitulah aku dan anak-anak di kampung itu memanggilnya. Tubuhnya sudah mulai renta, kulitnya keriput, menandakan perjalanan hidupnya yang panjang. Rambutnya putih semua, tanda usianya sudah sangat senja. Namun, meski usianya sudah di atas delapan puluh, semangatnya tetap berkobar. Tubuh kakek masih terlihat sehat dan masih kuat berjalan meski tidak sekencang dulu.
Pada masa mudanya, Kakek pernah menjadi bagian dari sejarah perjuangan bangsa yang terlupakan. Ia turut serta mengawal Jenderal Sudirman dalam pergerakan gerilya di daerah Boyolali, melintasi hutan lebat dan perbukitan terjal dengan kondisi fisik yang seringkali melelahkan. Kakek menyaksikan langsung keteguhan dan strategi cerdas Sang Jenderal dalam melawan penjajah, meski dengan keterbatasan sumber daya dan ancaman bahaya yang selalu mengintai.
Pengalaman selama masa perjuangan tersebut menempa Kakek menjadi sosok yang tangguh dan penuh semangat juang. Nilai-nilai keberanian, pengorbanan, dan cinta tanah air yang ia pelajari saat itu kini ia teruskan melalui dedikasinya dalam mendidik anak-anak kampung yang bekerja sebagai pemulung dan tidak mampu sekolah. Kakek berharap generasi muda dapat menghargai dan meneruskan semangat perjuangan para pendahulu mereka.
Meski telah melewati berbagai cobaan hidup yang tidak ringan, ia tak pernah kehilangan rasa optimistisnya terhadap masa depan. Bagi Kakek, pendidikan adalah kunci dari segala perubahan, kunci yang akan membuka pintu-pintu kesempatan bagi anak-anak. Oleh karena itu Kakek selalu memotivasi anak-anaknya untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya. Ayah dan kedua oomku berhasil menyelesaikan pendidikan hingga gelar doktoral. Hal itu pun berlaku bagi cucu-cucunya.
Setiap hari Kakek selalu menyempatkan diri untuk berkumpul dengan anak-anak di kebun belakang rumahnya. Di sana, di antara tanaman hijau dan pohon-pohon rindang, Kakek mendirikan sebuah bedeng sederhana dari bambu, tempat di mana ia mengajarkan anak-anak untuk membaca, menulis, dan bermimpi besar. Suaranya mungkin tidak lagi sekuat dulu, namun keteguhan hatinya dalam mendidik anak-anak membuatnya dihormati dan disayangi oleh mereka.
Namun, perjuangan Kakek tak selalu mulus. Masalah pertama yang ia hadapi adalah kurangnya dana. Pensiun veteran yang diterimanya sudah dia gunakan untuk membeli peralatan belajar untuk anak-anak. Meski begitu, Kakek tak pernah mengeluh. Ia selalu percaya bahwa rezeki akan datang jika kita tetap berusaha. Bapak dan para om-ku setiap bulan menjadi donator utama buat kegiatan kakek.
Aku pernah meminta Kakek untuk menghentikan kegiatannya itu. Namun, beliau menolak keras. Bagi Kakek, mendidik bukan sekadar memberikan pengetahuan. Lebih dari itu, ia ingin menanamkan nilai-nilai kehidupan yang telah ia pelajari dari pengalamannya sendiri---tentang pentingnya kerja keras, kesabaran, dan kejujuran. Meski usianya sudah tua, Kakek percaya bahwa ia masih memiliki banyak hal untuk diajarkan, dan ia tidak akan berhenti sampai ia tidak lagi mampu berdiri.
 Kakek selalu berkata, "Selama napasku masih ada, aku akan terus berjuang untuk masa depan kalian." Dan anak-anak, dengan mata yang penuh kekaguman, selalu mendengarkan dengan saksama, menyadari bahwa di balik tubuh yang renta itu, ada jiwa besar yang ingin melihat mereka sukses. Hal itulah yang membuatku tak pernah putus mengagumi kakek.
Hingga suatu senja, Kakek tengah mengajar di kebun. Suaranya yang serak terdengar jelas menceritakan kisah perjuangan. Tiba-tiba, langkah kaki berat terdengar mendekat, diikuti oleh suara yang menggelegar, "Bubarkan tempat ini sekarang juga!"
Beberapa orang mengikuti langkah Bang Tohir, berdiri, berjejer di depan saung. Kakek masih bersikap tenang. Semua mata tertuju pada Bang Tohir, pria muda berbadan kekar dan berotot dengan wajah penuh kemarahan. Kakek menoleh, namun tetap tenang, sementara anak-anak mulai saling memandang dengan wajah cemas.
"Bang Tohir, kami hanya sedang belajar," kata Kakek pelan, menatap pria itu dengan tatapan penuh kesabaran.
"Belajar? Apa gunanya belajar kalau perut mereka kosong? Mereka seharusnya di jalanan, mencari uang! Bukan duduk-duduk di sini, buang-buang waktu!" bentak Bang Tohir, wajahnya memerah marah.
Kakek menarik napas dalam, lalu menjawab dengan suara yang lebih tegas, "Anak-anak ini punya hak untuk belajar, Bang. Mereka berhak untuk bermimpi dan memiliki masa depan yang lebih baik."
"Apa yang Kakek tahu tentang masa depan mereka? Mereka hanya akan menderita lebih lama jika mengikuti jalanmu ini!" Bang Tohir mendekat, suaranya semakin lantang. Ia mengayunkan tangan, seolah ingin merobohkan bedeng bambu itu.
Namun, sebelum tangan Bang Tohir mengenai apa pun, seorang anak laki-laki kecil, Asep, berdiri di hadapannya. Wajah Asep pucat, tapi matanya bersinar penuh keberanian. "Aku nggak mau pulang, Pak! Aku mau belajar! Aku mau jadi orang yang berguna, seperti Kakek!"
Bang Tohir terdiam sejenak, terkejut dengan perlawanan dari anak yang biasanya selalu patuh itu. "Asep, kamu nggak ngerti apa yang kamu omongin! Pulang sekarang!"
"Tapi Pak, kalau aku nggak belajar, aku akan tetap miskin seperti sekarang! Aku mau sekolah, biar bisa bantu orang tua," kata Asep dengan suara yang gemetar namun penuh keyakinan.
"Yang kita butuhkan itu uang, Asep. Uang untuk beli makan, untuk mengisi perut kita." Bang Tohir memandang anaknya itu dengan tajam.
"Tapi kalau mereka hanya bekerja tanpa pendidikan, mereka tidak akan pernah lepas dari kemiskinan ini, Bang," ujar Kakek, suaranya lebih lembut, tapi penuh ketegasan. "Mereka butuh mimpi untuk bertahan, dan mereka butuh pendidikan untuk mewujudkannya."
Kakek menepuk bahu Asep lembut, lalu menatap Bang Tohir, "Bang, mereka ini masa depan kita. Kalau kita tidak memberikan mereka kesempatan, siapa yang akan membangun kampung ini nantinya?"
Bang Tohir tampak ragu. Ia menoleh ke arah para orang tua yang mulai berdatangan, beberapa dari mereka menarik anak-anak mereka, sementara yang lain terlihat bimbang. "Mereka butuh makan, bukan mimpi!" teriaknya, namun suaranya tak lagi sekeras tadi.
Bang Tohir mendengus, lalu berpaling tanpa sepatah kata lagi, meninggalkan bedeng bambu itu dengan langkah berat. Para orang tua perlahan-lahan mengikuti, beberapa menarik anak-anak mereka pergi, sementara yang lain membiarkan anak-anak mereka tetap tinggal.
Kakek melihat ke arah anak-anak yang masih berdiri di sekelilingnya, beberapa dengan air mata di mata mereka. Ia tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. "Kita lanjutkan pelajaran kita," ujarnya pelan.
Namun, saat Kakek berbalik, suara gemerisik terdengar di belakangnya. Bapak menoleh dan melihat Bang Tohir kembali, kali ini dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak.
"Aku... akan berpikir lagi tentang ini," ucap Bang Tohir dengan suara pelan, nyaris tak terdengar..
Kakek mengangguk, memahami bahwa ini mungkin bukan akhir dari pertentangan ini. Masalah belum sepenuhnya selesai, dan ia tahu, esok hari mungkin akan membawa tantangan baru. Namun, hari itu di bawah langit  cerah, Kakek merasa sedikit lega. Setidaknya, untuk sementara, mimpi anak-anak itu masih bisa hidup, meskipun tipis.
Sambil menatap langit , Kakek bertanya kepadaku, "Apakah ini hanya permulaan dari pertarungan yang lebih besar?"
Aku hanya tersenyum. Aku yakin Kakek bisa menghadapi ini semua dengan caranya sendiri. Kakek terkenal tangguh dan sabar. Pasti dia akan sanggup melewati ini semua.
Bedeng bambu itu, yang hanya merupakan tempat sederhana untuk belajar, kini menjadi saksi bisu dari perjuangan seorang pria tua yang mencoba memberikan cahaya di tengah kegelapan. Perjuangan yang tak hanya melawan kemiskinan dan ketidakadilan, tetapi juga melawan kebodohan dan ketidakberdayaan. Perjuangan yang belum tahu akan berakhir di mana dan bagaimana.
Bagiku Kakek bukan hanya pejuang. Beliau laksana malaikat yang selalu membantu orang lain dalam kebaikan.
Cibadak, 28 Agustus 2024
Cerpen ini keberikan untuk anak-anak didikku sebagai pembelajaran bahwa pendidikan itu harus diraih dengan segala upaya dan kerja keras. Semangat!
Bionarasi
Nama saya Nina Sulistiati. Seorang guru SMP di Sukabumi, Jawa Barat. Saya hobi menulis berbagai genre tulisan. Saya menulis buku kumpulan cerpen berjudul "Asa di Balik Duka Wanodya", novel berjudul'Serpihan Atma", kumpulan puisi"Kulangitkan Asa dan Rasa, dan 25 judul antologi bersama beberapa komunitas menulis. Bagi saya menulis merupakan cara untuk memberikan kesehatan mental. Motto: Belajar sepanjang hayat demi memberikan manfaat kepada orang lain. Akun kompasiana: https://www.kompasiana.com/ninasulistiati0378,  fb;  T https://www.facebook.com/nina.listiati.1/ Thread: @nlistiati  IG: nlistiati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H