Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kakek Bukan Pejuang

28 Agustus 2024   04:57 Diperbarui: 28 Agustus 2024   06:55 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar dokumen pribadi by Canva

Kakek Ahmad, begitulah aku dan anak-anak di kampung itu memanggilnya. Tubuhnya sudah mulai renta, kulitnya keriput, menandakan perjalanan hidupnya yang panjang. Rambutnya putih semua, tanda usianya sudah sangat senja. Namun, meski usianya sudah di atas delapan puluh, semangatnya tetap berkobar. Tubuh kakek masih terlihat sehat dan masih kuat berjalan meski tidak sekencang dulu.

Pada masa mudanya, Kakek pernah menjadi bagian dari sejarah perjuangan bangsa yang terlupakan. Ia turut serta mengawal Jenderal Sudirman dalam pergerakan gerilya di daerah Boyolali, melintasi hutan lebat dan perbukitan terjal dengan kondisi fisik yang seringkali melelahkan. Kakek menyaksikan langsung keteguhan dan strategi cerdas Sang Jenderal dalam melawan penjajah, meski dengan keterbatasan sumber daya dan ancaman bahaya yang selalu mengintai.

Pengalaman selama masa perjuangan tersebut menempa Kakek menjadi sosok yang tangguh dan penuh semangat juang. Nilai-nilai keberanian, pengorbanan, dan cinta tanah air yang ia pelajari saat itu kini ia teruskan melalui dedikasinya dalam mendidik anak-anak kampung yang bekerja sebagai pemulung dan tidak mampu sekolah. Kakek berharap generasi muda dapat menghargai dan meneruskan semangat perjuangan para pendahulu mereka.

Meski telah melewati berbagai cobaan hidup yang tidak ringan, ia tak pernah kehilangan rasa optimistisnya terhadap masa depan. Bagi Kakek, pendidikan adalah kunci dari segala perubahan, kunci yang akan membuka pintu-pintu kesempatan bagi anak-anak. Oleh karena itu Kakek selalu memotivasi anak-anaknya untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya. Ayah dan kedua oomku berhasil menyelesaikan pendidikan hingga gelar doktoral. Hal itu pun berlaku bagi cucu-cucunya.

Setiap hari Kakek selalu menyempatkan diri untuk berkumpul dengan anak-anak di kebun belakang rumahnya. Di sana, di antara tanaman hijau dan pohon-pohon rindang, Kakek mendirikan sebuah bedeng sederhana dari bambu, tempat di mana ia mengajarkan anak-anak untuk membaca, menulis, dan bermimpi besar. Suaranya mungkin tidak lagi sekuat dulu, namun keteguhan hatinya dalam mendidik anak-anak membuatnya dihormati dan disayangi oleh mereka.

Namun, perjuangan Kakek tak selalu mulus. Masalah pertama yang ia hadapi adalah kurangnya dana. Pensiun veteran yang diterimanya sudah dia gunakan untuk membeli peralatan belajar untuk anak-anak. Meski begitu, Kakek tak pernah mengeluh. Ia selalu percaya bahwa rezeki akan datang jika kita tetap berusaha. Bapak dan para om-ku setiap bulan menjadi donator utama buat kegiatan kakek.

Aku pernah meminta Kakek untuk menghentikan kegiatannya itu. Namun, beliau menolak keras. Bagi Kakek, mendidik bukan sekadar memberikan pengetahuan. Lebih dari itu, ia ingin menanamkan nilai-nilai kehidupan yang telah ia pelajari dari pengalamannya sendiri---tentang pentingnya kerja keras, kesabaran, dan kejujuran. Meski usianya sudah tua, Kakek percaya bahwa ia masih memiliki banyak hal untuk diajarkan, dan ia tidak akan berhenti sampai ia tidak lagi mampu berdiri.

 Kakek selalu berkata, "Selama napasku masih ada, aku akan terus berjuang untuk masa depan kalian." Dan anak-anak, dengan mata yang penuh kekaguman, selalu mendengarkan dengan saksama, menyadari bahwa di balik tubuh yang renta itu, ada jiwa besar yang ingin melihat mereka sukses. Hal itulah yang membuatku tak pernah putus mengagumi kakek.

Hingga suatu senja, Kakek tengah mengajar di kebun. Suaranya yang serak terdengar jelas menceritakan kisah perjuangan. Tiba-tiba, langkah kaki berat terdengar mendekat, diikuti oleh suara yang menggelegar, "Bubarkan tempat ini sekarang juga!"

Beberapa orang mengikuti langkah Bang Tohir, berdiri, berjejer di depan saung. Kakek masih bersikap tenang. Semua mata tertuju pada Bang Tohir, pria muda berbadan kekar dan berotot dengan wajah penuh kemarahan. Kakek menoleh, namun tetap tenang, sementara anak-anak mulai saling memandang dengan wajah cemas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun