Aku ingat saat pertama kali aku melihatmu menangis di tengah malam. Aku tahu saat itu kamu menahan isak tangis sehingga kau begitu tersiksa. Di tengah tangisanmu kau mengadukan tentang penyakit kanker yang bersarang di hatimu. Diagnosa dokter jika usiamu hanya tersisa enam bulan lagi. Sejak saat itu aku selalu ingin menguatkan hatimu. Sang Maha Kasih terlalu sayang padamu sehingga memberikan cobaan berat. Namun, aku yakin Tuhan tak akan memberikan cobaan buat umat-Nya jika tak mampu menghadapi.
Kamu memang perempuan kuat. Kamu sembunyikan lukamu sendiri. Suami dan anak-anakmu tak pernah tahu penyakit yang kamu derita. Hanya aku yang tahu apa yang kau rasakan. Aku pernah menyuruhmu untuk memberitahukan, tetapi kau menolaknya. "Biarlah lara ini hanya aku yang merasakan," ujarmu saat itu.
"Kamu tahu foto wanita ini?" tanyamu saat dua bulan lalu seraya memperlihatkan foto seorang wanita cantik, berambut panjang dan berpostur semampai.
Aku hanya bergeming. Aku tahu siapa perempuan itu sebenarnya. Perempuan itu yang telah menggoyahkan pilar kesetiaan Bram, suamimu. Tuhan terlalu sayang padamu. Dia uji iman dan ketabahanmu terus menerus.
Aku ingin mengajakmu berontak pada suamimu yang jelas-jelas sudah menduakan cintanya. Namun, apa yang aku lihat? Kamu hanya diam, pasrah menerima takdir. Kamu membiarkan perempuan itu untuk menjadi madumu. Kamu rela saat suamimu membawa perempuan itu untuk tinggal serumah denganmu dan anak-anak.
"Ma. Kenapa Tante Mirna tidur di kamar utama?" tanya Dean, putra bungsumu yang masih berusia enam tahun. Kamu tampak kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu.
"Papa menikah dengan Tante Mirna, Dik. Dia mama tiri kita," jelas Santi, putri sulungmu yang sudah mengerti apa yang terjadi. Lagi-lagi kamu tak menanggapi penjelasan Santi. Kamu berusaha untuk menyembunyikan air matamu.
"Ma ... benarkah itu? Aku tak mau punya ibu tiri. Aku mau sama mama saja," rengek Dean seraya memeluk dirimu. Aku tahu hatimu begitu terluka. Malam itu kamu mencoba memberikan pengertian kepada Dean dan Santi meski berakhir kebencian yang tampak di mata mereka.
Kini malam ini kamu berdiri di dermaga ini, sendiri. Tiba-tiba ada titik-titik air bening di kedua pipimu. Gumpalan amarah, duka, kecewa menyatu dalam jiwamu yang tampak rapuh.
"Tuhan ... aku lelah. Panggil aku jika ini waktu yang kau tetapkan. Aku siap kembali pada-Mu," teriakmu sekeras-kerasnya. Tak ada orang yang mendengarmu hanya deburan ombak dan aku yang selalu menemanimu setiap saat. Sejatinya aku yang ada jauh di lubuh hatimu yang terdalam dan selalu menemanimu.
Cibadak, 25 Mei 2024