Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen 'Perempuan Migran'

21 April 2024   22:31 Diperbarui: 21 April 2024   23:04 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya aku memutuskan untuk bekerja sebagai TKW tanpa keahlian apa-apa. Tawaran yang aku terima sebagai seorang asisten rumah tangga karena aku hanya berijazah SMA. Aku harus menerima tawaran itu demi masa depan anak-anakku. Suamiku yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga, tak mampu memberikan harapan.

"Ibu, mengapa harus kerja ke tempat yang jauh?" tanya Disti saat aku berpamitan pada anak-anak.
"Ibu harus mencari uang yang banyak agar kakak dan adik bisa sekolah," ujarku seraya menahan tangis yang sebentar lagi akan menganak sungai.
"Mengapa harus ke luar negeri? Nanti kakak dengan adik siapa yang menyiapkan makan?" tanya Disti memeluk aku erat seolah melarangku pergi.

Aku tak bisa membendung tangis yang sejak tadi dipendam dalam hati. Aku tak bisa memilih antara anak-anak dan pekerjaan. Dua sisi yang berbeda dan sama-sama aku butuhkan. Duh ... Gusti Allah, seandainya saja suamiku memiliki pekerjaan yang tetap, tidak perlu bergaji besar, tetapi rutin mendapat penghasilan, aku tak harus meninggalkan wajah-wajah lugu yang masih membutuhkan kasih sayang dan bimbingan dariku. Inikah takdir yang harus aku jalani, sebagai pencari nafkah padahal Engkau menggariskan kodratku sebagai seorang ibu?

Aku bersyukur karena tempatku bekerja cukup nyaman. Majikanku sangat menghargai dan memperlakukan para pekerja di rumah mereka dengan baik. Aku diberi tugas untuk merawat Nyonya Humairah, ibu dari Pak Mubarak, majikanku. Nyonya Humairah sudah berusia delapan puluh tahun dan membutuhkan perawat.  

Selama empat tahun aku menjalani peranku. Kerinduan yang kerap menggayuti hati, kutumpahkan dengan goresan-goresan pena di buku diary atau meminjam telepon majikan setiap dua bulan sekali agar bisa menelepon anak-anak lewat telepon sekolah mereka. Jika kerinduan itu tak terbendung, aku hanya bersimpuh di atas sajadah bersama doa-doa yang kupanjatkan pada-Nya. Bagiku pengorbanan ini sangat berat tetapi harus kujalani. Aku selalu berharap waktu cepat berlalu agar bisa pulang ke tanah air.

Setiap bulan aku mengirimkan sebagian gaji kepada suami untuk biaya hidup anak-anak. Aku selalu meminta suami agar bisa mengatur keuangan dan tetap bekerja. Aku tidak mau, suamiku hanya mengandalkan aku sebagai pencari uang. Dia harus tetap menjadi kepala keluarga dan bertugas mencari nafkah untuk kami.

Siang ini aku menghitung waktu. Sudah tiga tahun sembilan bulan aku berada di rumah majikanku. Aku bersyukur mereka memperlakukanku dengan baik. Aku betah bekerja di rumah ini. Aku diminta untuk kembali lagi setelah masa kontrak kerjaku habis. Aku belum bisa menjawab permintaan itu. Aku ingin segera pulang ke Indonesia dan melepaskan kerinduanku pada anak-anak. Aku harus menunggu tiga bulan lagi untuk bertemu dengan mereka.

Anak-anakku kini sudah besar. Disti berusia dua belas tahun dan akan masuk SMP sedangkan Hani berusia sepuluh tahun. Aku menelepon Disti lewat telepon sekolah. Aku menelepon pukul enam pagi waktu Kairo artinya pukul sepuluh di sekolah Disti. Aku ingin mengabarkan kepulanganku tiga bulan lagi.

"Assalamualaikum, kakak Disti. Apa kabar?" Aku menahan tangis yang ingin pecah di ujung telepon.

"Waalaikumussalam, Ibu. Kakak dan adik baik. Dua minggu lalu adik masuk rumah sakit karena demam tinggi." Disti berbicara dengan nada kerinduan.

"Ibu, ini adik. Kapan Ibu pulang? Adik sudah kangen sekali," suara Hani terdengar dari ujung telepon. Rupanya dia tak sabar menunggu ingin berbicara padaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun