Bulu kudukku berdiri saat menyusuri pemakaman yang terletak di pinggir belantara. Ada enam makam jumlahnya.
Pepohonan yang besar dan tinggi serta dahan- dahan bergoyang menghadirkan suasana  yang tidak nyaman.
"Permisi, Pak, Bu, Mbak, Mas, kami numpang lewat," ucapku seraya komat kamit membaca doa.
Tejo tersenyum melihat tingkahku," Tenang, Kin. Mereka tidak akan mengganggu kita. Paling mereka hanya akan memberikan senyum."
Tejo cekikikan mengikuti suara Kunti yang suka ada di film- film horor
"Jo, eling. Kamu tidak boleh begitu ah. Kata si Mbah kita tidak sembarangan bicara bila ada di pemakaman," ujarku mengingatkan.
Tejo hanya senyum- senyum mendengar aku ngomel.
"Pras, masih jauh letak desa yang tadi kita lihat?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
" Cahaya lampu itu tampak semakin terang. Mungkin tak lama lagi," jawab Pras sambil menatapku,"Kamu cape?"
Aku hanya tersenyum sambil terus berjalan. Hampir setengah jam kami berjalan.
"Lihat! Ada rumah di sana!" Tejo menunjuk ke sebuah rumah yang ada di ujung belantara. Pasti itu desa yang tadi kami lihat dari atas bukit.
Ternyata benar, tak jauh dari rumah itu ada beberapa rumah lagi yang terlihat.
Bias merah telah tampak dari ufuk timur. Beberapa perempuan terlihat menuju sendang yang tak jauh dari pemukiman itu.
"Permisi ..., di mana rumah kepala desa ya?" tanya Pras kepada perempuan itu .