Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tragedi Di Ujung Malam

5 Juni 2023   01:07 Diperbarui: 5 Juni 2023   01:22 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://radarbali.jawapos.com/

Hujan yang turun lebat dan membuat suasana jalanan sangat sepi. Hanya sedikit orang yang tampak berlalu lalang di jalan raya. Cuaca yang tidak mendukung dan udara dingin seperti ini membuat orang memilih diam di rumah, menikmati tayangan televisi atau sekedar bermain handphone  sambil merebahkan diri.

Aku menjalankan kendaraan pelan- pelan sambil mencari- cari penjual gorengan atau penjual bakso. Udara dingin seperti ini memang enaknya makan sesuatu yang hangat untuk menghilangkan rasa dingin di tubuh. Baru satu malam aku datang di Lembang ini. Aku dituhaskan sebagai seorang wartawan di salah satu media cetak dan on line, Investigasi. Cuaca dingin di sini  membuat tubuhku menggigil.  

Aku melihat ada warung bakso di ujung Jalan Simatupang. Di spanduk tertulis "Bakso Janda Mas Pardi." Wah dari judulnya saja sudah membuat orang tertarik. Pikiran pasti akan membayangkan yang lain, padahal Janda itu singkatan dari Jawa Sunda. Akhirnya aku memutuskan untuk menghentikan mobilku di depan warung.

Baca juga: Lato-Lato Lik Ato

Suasana warung sangat sepi. Penjual dan pembeli tak tampak di situ. Aneh ... kemana ya mereka?

"Permisi, Mas. Aku mau pesan bakso nih!" teriakku keras. Sepi tak ada yang menyahut.

Aku memandang sekitar warung. Asap mengepul dari dandang baso pertanda masih ada baso di dalamnya Aku menunggu beberapa saat dan memanggil kembali penjual bakso.

"Mas, Mbak, saya mau pesan bakso, nih!" teriakku lebih keras. Namun, tetap saja tak ada jawaban.

Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dan mencari warung baso lain.

"Pesan apa, Mas?" tiba- tiba suara seorang laki-laki terdengar dari balik gerobak. Wajah lelaki itu dingin, tanpa senyum dan suaranya sangat datar.

"Aku mau bakso urat, bihun, tauge dan sayur, tanpa mi, ya," jawabku sambil mencari tempat duduk.

Sambil menunggu aku melihat ke sekeliling warung. Ada sesuatu yang aneh dari warung ini. Kok tak ada pembeli satu pun. Suasana di sini juga membuatku tak nyaman. Ah ... mungkin karena udara sangat dingin di sini.

Tiba-tiba masuk seorang perempuan dengan menggunakan gaun sepanjang lutut dan menggunakan jas  dari bahan denim. Selain itu perempuan itu menggunakan sepatu high heel. Dia duduk tak jauh dari tempatku duduk saat ini.

"Aku nyuwun teh anget yo, Mas Pardi," pinta perempuan itu sambil mengambil sebatang rokok dari dalam tasnya dan menyulutnya dengan korek gas. Kemudian dia menghisap rokok tersebut pelan-pelan tanpa ekspresi.

Diam-diam aku mengamati perempuan itu. Usianya sekitar 35 tahunan, putih, cantik. Wajahnya ber-make up tipis dan bibirnya bergincu warna merah muda. Namun, wajah perempuan itu sangat pucat meski bermake up.

"Ada apa Mas memperhatikanku? Tertarik sama aku?" tanya perempuan itu sambil tersenyum dingin. Mata perempuan itu tajam menatap dan pastinya tatapan itu membuat bulu kuduk merinding.

"Maaf, Mbak. Saya tidak bermaksud begitu ...," jawabku kikuk sambil melemparkan pandanganku ke arah lain.

"Ini pesanan Mas." Laki-laki penjual bakso itu mengantarkan semangkok bakso. Wajah laki-laki itu tanpa ekspresi. Seharusnya pembeli itu raja dan harus dilayani dengan ramah.

"Terima kasih, Mas." Aku menjawab dengan pelan sambil merasakan sesuatu yang aneh di tempat itu. Aku merasa tidak nyaman dan memutuskan untuk pergi dari warung itu.

"Maaf, Mas. Saya tidak jadi memakan baso ini. Perut saya mendadak mual. Ini uang bayaran untuk semangkuk baso pesanan saya," kataku sambil menyimpan uang seratus ribuan.

"Hai ...tidak bisa begitu. Kamu harus habiskan bakso ini!" bentak laki-laki sambil menunjukkan ekspresi kemarahan. Lama kelamaan wajahnya yang pucat pasi dan menyeringai dengan ekspresi yang menyeramkan.

Aku segera berlari dan masuk ke dalam mobilku. Aku segera berlalu dari warung itu.  Aku merasa ada sesosok bayangan yang sedang duduk di belakang. Aku menghentikan mobil dan memastikan jika ada penumpang gelap dalam mobil. Ternyata tak ada siapa-siapa di situ.

Akhirnya aku melanjutkan perjalanan. Alk mendengar suara bisikan perempuan yang memanggil sangat lirih. Saat itu aku segera menginjak gas, ketakutan. Hawa dingin menusuk leherku. Seakan belum cukup membuatku ketakutan, aku merasakan sesuatu memeperhatikan ku dari belakang.

"Aku ikut ya, Mas," suara perempuan tiba-tiba terdengar dari kursi belakang. Aku melihat dari kaxa spion wajah perempuan yang tadi duduk di warung bakso.

"Apa yang kamu lakukan di sini. Keluar! Keluar dari mobil," usirku seraya menghentikan mobil dan membuka pintu otomatis.

Namun, perempuan itu tidak mau pergi. Dia malah marah dan menunjukkan wajah aslinya. Sosok itu tersenyum begitu lebar, seolah merobek wajahnya sendiri. Bola mata hitamnya itu keluar dari kelopak matanya.

Aku yakin, aku pingsan setelah sosok itu mengucapkan kalimat yang tidak akan pernah aku lupakan: "Kalian kejam telah membakar kami hidup-hidup!"

Aku terbangun saat matahari sudah terbit dan seseorang mengetuk pintu mobil. Aku melihat sekeliling. Ternyata aku ada di tanah pekuburan.

"Maaf, Pak. Saya ada di mana, ya?" tanyaku kepada laki-laki yang membangunkan aku tadi.

"Bapak ada di TPU Sirnakerta ," jelas laki-laki itu. Dia membawa cangkul. Rupanya dia penggali kubur di TPU ini.

"Lalu di mana warung bakso yang terletak tak jauh dari sini?" tanyaku bingung.

"Warung bakso? Di pemakaman ini tak ada warung bakso, Pak. Pernah ada di persimpangan desa, hanya sudah terbakar tanpa sebab satu minggu lalu. Dan pemiliknya meninggal dengan menggenaskan. Konon sih ada yang membakar saat malam hari dan hanya pelakunya belum ditemukan," papar laki- laki itu lagi.

Aku tercenung mendengar cerita si Bapak tadi. Dengan lemas aku kembali ke rumah kost sambil menyimpan banyak pertanyaan.

Cibadak, 5 Juni 2022

Penulis: Nina Sulistiati. Penulis 24 Antologi berbagai genre tulisan. Penulis Antologi Cerpen "Asa Dibalik Duka Wanodya," Penulis Novel  "Serpihan Atma" dan pengajar Bahasa Indonesia di SMP. fb: nina sulistiati, ig: ninasulistiati1

dokumen pribadi
dokumen pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun