"Derana gagal tes, Bunda," ujar Derana sambil menunduk. Ada buliran air bening di kedua kelopak matanya.
"Tidak perlu sedih, Rana. Allah Swt belum memberikan rejeki terbaik untukmu," hiburku seraya mengusap air mata Derana.
Derana tak kuat lagi menumpahkan tangis yang sejak tadi ditahannya dan memelukku erat. Dia tumpahkan segala kesedihannya dalam pelukanku. Tanpa terasa aku ikut menangis meskipun aku tidak boleh memperlihatkannya kepada puteriku ini.
Sudah tiga kali ini lamaran kerja Derana ditolak padahal dia sudah berhasil lolos seleksi akademik, keahlian dan wawancara.
"Semua ini tidak adil buat Rana, Bunda. Tindakan diskriminasi ini sangat menyakiti hati Rana. Kalau Rana tidak lolos berbagai tes itu mungkin Rana bisa maklum. Semua tes sudah mampu Rana jalani dan mendapat nilai terbaik dari beberapa pelamar yang lolos. Mengapa Rana harus ditolak karena selembar surat keterangan dokter kalau Rana penyandang tuli." Rana berbicara sambil terisak-isak seraya menatapku.
Tatapan mata yang dingin dari mata cantiknya itu menusuk langsung ke jantungku. Aku ikut merasakan kenyataan yang menyakitkan itu. Lalu Rana menatap langit dan menyembunyikan luka di balik mata hitamnya.
Saat tes akademik Derana lolos karena nilai-nilai kuliahnya memang selalu di atas rerata. Begitu pula saat tes keahlian, Derana mampu menunjukan kemampuannya. Saat wawancara pun tak ada masalah karena Derana mampu berkomunikasi dengan baik meskipun dia anak tuna rungu.
Sebagai seorang ibu pasti aku merasa hancur saat melihat puteri semata wayangnya bersedih. Namun, aku harus tetap kuat di hadapan Rana seperti yang selama ini aku lakukan untuknya. Rana harus kuat dan tabah menghadapi ujian hidupnya seperti nama yang kuberikan padanya Derana, yang artinya ketabahan.
Sejak itu Derana terlihat murung. Keceriaan dan senyumnya seolah lenyap dari wajahnya. Kegagalannya kali ini telah memporakporandakan kepercayaan diri yang sudah aku tanamkan selama ini. Derana lebh senang mengurung diri di kamar. Ajakan teman-temannya untuk hang out pun selalu ditolaknya.
Semua ini membuatku bingung. Apa yang harus kulakukan agar Derana dapat bersemangat kembali? Perlahan aku membuka album foto keluarga. Ada Rana kecil yang sedang aku gendong. Sekelebat masa lalu Rana hadir dalam benakku.
Rana berusia dua tahun saat aku memeriksakannya ke dokter. Ada keanehan pada Rana kala itu. Seharusnya anak berusia dua tahun sudah pandai mengucapkan beberapa kata yang teratur. Dia sudah mampu mengucapkan kata nenek, kakek, mama, papa, dan kata-kata lain yang mudah. Sementara Rana belum bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas.
"Kita harus memeriksakan Rana ke dokter, Mas," ujarku pada Mas Bram, suamiku.
"Rana belum bisa berbicara karena belum waktunya. Nanti juga dia bisa bicara," jawab suamiku seraya menatap Derana yang aku gendong.
"Aku takut ada masalah, Mas ..." ujarku pelan. Aku melihat ibu mertuaku yang juga sedang duduk tak jauh dari tempat kami ngobrol.
"Maksudmu? Kamu takut Rana cacat begitu!" Suara Mas Bram tinggi kudengar," Tidak ada keturunan keluargaku yang cacat."
"Bukan begitu, Mas." Aku berbicara pelan agar Mas Bram tidak emosi.
"Sudahlah, Anjani. Kamu jangan berbicara ngawur. Nanti juga Rana bisa berbicara," tukas ibu mertuaku sambil memandangku sinis.
Ya ... Allah, bagiku sikap Mas Bram dan ibu mertuaku sangat menyakitkan. Namun, aku tetap harus bersabar. Memang ibu mertuaku tidak suka kepadaku karena aku hanyalah perempuan biasa dan bukan dari kalangan ningrat.
Diam-diam aku memeriksakan Derana ke dokter Sinta, dokter anak langgananku. Dokter Sinta menyarankan agar Derana diperiksa ke klinik tumbuh kembang anak. Aku membawa Derana tanpa sepengetahuan Mas Bram dan mertuaku.
Derana mengikuti berbagai tes yang dilakukan oleh dokter Sinta dan dokter Airin, dokter rekam medik. Dari hasil observasi, Rana dirujuk ke dokter THT. Sekali lagi aku melakukan itu tanpa sepengetahuan suami dan mertuaku.
"Anak ibu didiagnosa tidak bisa mendengar," ujar dokter Kesya pelan, saat aku memeriksakan Rana ke dokter THT.
Bumi seakan berputar saat aku mendengarkan penjelasan dokter Kesya. Ibu mana yang mengingnkan anaknya hidup dengan kekurangan fisik.
"Ibu jangan bersedih, ya. Inilah takdir yang diberikan Allah Swt. Ibu jangan berkecil hati karena banyak anak yang memiliki kekurangan fisik bisa meraih kesuksesan," hibur dokter Kesya saat melihatku diam membisu.
Kemudian dokter Kesya merujuk Derana untuk melakukan tes Bera di salah satu klinik agar mengetahui dengan jelas ambang dengat yang dimiliki Rana. Dokter juga menyarankan Rana untuk membeli alat bantu dengar agar dia bisa terbantu pendengarannya.
Aku bingung bagaimana cara menyampaikan berita ini kepada suami dan mertuaku apalagi aku jelas-jelas melakukan pemeriksaan Derana tanpa sepengetahuan mereka.
"Apa? Rana tuli? Tidak mungkin! Tak ada keturunanku yang tuli!" teriak mertuaku saat aku menceritakan hal ini kepada mereka. Aku tak mampu berkata apa-apa.
"Kamu melakukan pemeriksaan ini tanpa sepengatahuanku. Isteri macam apa kamu ini?" geram Mas Bram. Sekali lagi aku hanya terdiam, membisu.
Aku memang salah tapi aku melakukan ini demi kebaikan Derana. Aku membelikan alat bantu dengar untuk Derana dan melakukan terapi wicara untuk memaksimalkan pendengarannya. Aku melakukannya sendiri tanpa bantuan Mas Bram.
Mas Bram dan mertuaku bersikap sinis. Mereka membiarkan aku mengurus Derana sendiri, bahkan Mas Bram sudah sering pulang malam. Hingga suatu hari Mas Bram dan ibu mertuaku mengajakku bicara.
"Aku malu memiliki cucu tidak sempurna. Aku ingin Bram menikah lagi agar bisa memberikan cucu yang sempurna untukku." Mertuaku berbicara sangat pelan, tetapi terdengar seperti suara halilintar di telingaku.
"Maksud ibu ... aku harus mengizinkan Mas Bram menikah dengan wanita lain?" tanyaku seraya menatap mertuaku sendu.
Aku melihat Mas Bram menganggukan kepalanya. Aku jelas menolak permintaan mertua dan suamiku. Siapa wanuta yang tega dimadu seperti ini? Hatiku terluka ... sangat dalam.
 Akhirnya aku memilih mundur dan membawa Derana ke rumah orang tuaku. Di sinilah aku membesarkan Derana seorang diri. Aku harus bekerja paruh waktu untuk membiayai terapi Derana.
Aku harus bersyukur karena sudah melakukan intervensi dini kepada bidadariku sehingga Derana tumbuh menjadi seorang gadis normal sama dengan gadis=gadis yang lain . Dia bisa berbicara normal, mendengar normal dan berprestasi. Tidak akan ada yang mengira dia seorang penyandang tuli karena alat bantu dengar yang dipakainya tertutup hijab..
Derana tumbuh menjadi gadis yang ceria dan cerdas. Dia selalu mendapatkan nilai terbaik di kelasnya. Itulah yang membuatku bangga. Rasa sakit, pedih dan derita yang aku lalui, terobati dengan pertumbuhan Derana. Dan kini semua hilang karena kegagalan Derana.
Aku ingat ada satu lagu yang sangat disukai Derana. Lagu ini aku ciptakan sendiri dan selalu aku dendangkan saat Derana sedang bersedih. Pelan-pelan aku menyanyikan lagu itu diiringi piano tua milik ayahku.
Bidadari kecilku terbanglah tinggi
Gapai asa yang terbentang luas
wujudkan cita dalam genggaman
Tuhan pasti akan menunjukkan jalan
...
Tanpa kusadari, Rana memelukku dari belakang. Kemudian dia duduk dan menangis di sampingku.
"Maafkan Rana, Bunda. Rana sudah membuat Bunda sedih, ya," tangis Rana sambl memelukku. Kami berpelukan sesaat. Aku senang Rana sudah mau keluar dari kamarnya.
"Sabar ya, sayang. Tuhan menguji umat-Nya yang sabar dan tawakal." Aku berkata sambil membelai rambut Rana. Rana menganggukan kepalanya dan kembali memelukku.
"Terima kasih sudah menjadi Ibu yang hebat buat Rana," ujar Rana lirih sambil terus memelukku.
Cibadak, 17 April 2023
Bionarasi
Nama saya Nina Sulistiati. Seorang guru SMP yang gemar menulis. Hasil karya saya: satu buku kumpulan cerpen berjudul Asa Di Balik Duka Wanodya, dan 23 antologi bersama penulis lain dengan berbagai genre tulisan. Prinsip hidup saya tetap bermanfaat bagi orang lain sampai ajal menjemput.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H