Akhirnya aku memilih mundur dan membawa Derana ke rumah orang tuaku. Di sinilah aku membesarkan Derana seorang diri. Aku harus bekerja paruh waktu untuk membiayai terapi Derana.
Aku harus bersyukur karena sudah melakukan intervensi dini kepada bidadariku sehingga Derana tumbuh menjadi seorang gadis normal sama dengan gadis=gadis yang lain . Dia bisa berbicara normal, mendengar normal dan berprestasi. Tidak akan ada yang mengira dia seorang penyandang tuli karena alat bantu dengar yang dipakainya tertutup hijab..
Derana tumbuh menjadi gadis yang ceria dan cerdas. Dia selalu mendapatkan nilai terbaik di kelasnya. Itulah yang membuatku bangga. Rasa sakit, pedih dan derita yang aku lalui, terobati dengan pertumbuhan Derana. Dan kini semua hilang karena kegagalan Derana.
Aku ingat ada satu lagu yang sangat disukai Derana. Lagu ini aku ciptakan sendiri dan selalu aku dendangkan saat Derana sedang bersedih. Pelan-pelan aku menyanyikan lagu itu diiringi piano tua milik ayahku.
Bidadari kecilku terbanglah tinggi
Gapai asa yang terbentang luas
wujudkan cita dalam genggaman
Tuhan pasti akan menunjukkan jalan
...
Tanpa kusadari, Rana memelukku dari belakang. Kemudian dia duduk dan menangis di sampingku.
"Maafkan Rana, Bunda. Rana sudah membuat Bunda sedih, ya," tangis Rana sambl memelukku. Kami berpelukan sesaat. Aku senang Rana sudah mau keluar dari kamarnya.
"Sabar ya, sayang. Tuhan menguji umat-Nya yang sabar dan tawakal." Aku berkata sambil membelai rambut Rana. Rana menganggukan kepalanya dan kembali memelukku.
"Terima kasih sudah menjadi Ibu yang hebat buat Rana," ujar Rana lirih sambil terus memelukku.
Cibadak, 17 April 2023
Bionarasi