Bumi seakan berputar saat aku mendengarkan penjelasan dokter Kesya. Ibu mana yang mengingnkan anaknya hidup dengan kekurangan fisik.
"Ibu jangan bersedih, ya. Inilah takdir yang diberikan Allah Swt. Ibu jangan berkecil hati karena banyak anak yang memiliki kekurangan fisik bisa meraih kesuksesan," hibur dokter Kesya saat melihatku diam membisu.
Kemudian dokter Kesya merujuk Derana untuk melakukan tes Bera di salah satu klinik agar mengetahui dengan jelas ambang dengat yang dimiliki Rana. Dokter juga menyarankan Rana untuk membeli alat bantu dengar agar dia bisa terbantu pendengarannya.
Aku bingung bagaimana cara menyampaikan berita ini kepada suami dan mertuaku apalagi aku jelas-jelas melakukan pemeriksaan Derana tanpa sepengetahuan mereka.
"Apa? Rana tuli? Tidak mungkin! Tak ada keturunanku yang tuli!" teriak mertuaku saat aku menceritakan hal ini kepada mereka. Aku tak mampu berkata apa-apa.
"Kamu melakukan pemeriksaan ini tanpa sepengatahuanku. Isteri macam apa kamu ini?" geram Mas Bram. Sekali lagi aku hanya terdiam, membisu.
Aku memang salah tapi aku melakukan ini demi kebaikan Derana. Aku membelikan alat bantu dengar untuk Derana dan melakukan terapi wicara untuk memaksimalkan pendengarannya. Aku melakukannya sendiri tanpa bantuan Mas Bram.
Mas Bram dan mertuaku bersikap sinis. Mereka membiarkan aku mengurus Derana sendiri, bahkan Mas Bram sudah sering pulang malam. Hingga suatu hari Mas Bram dan ibu mertuaku mengajakku bicara.
"Aku malu memiliki cucu tidak sempurna. Aku ingin Bram menikah lagi agar bisa memberikan cucu yang sempurna untukku." Mertuaku berbicara sangat pelan, tetapi terdengar seperti suara halilintar di telingaku.
"Maksud ibu ... aku harus mengizinkan Mas Bram menikah dengan wanita lain?" tanyaku seraya menatap mertuaku sendu.
Aku melihat Mas Bram menganggukan kepalanya. Aku jelas menolak permintaan mertua dan suamiku. Siapa wanuta yang tega dimadu seperti ini? Hatiku terluka ... sangat dalam.