Hari ini betapa rindunya Friska dengan suasana keharmonisan mereka. Ayah, Bunda dan Friska adalah satu paket dan tidak dapat dipisahkan.
"Friska, Ayah akan dibawa ke pemakaman. Kamu masih ingin melihat wajah Ayah untuk yang terakhir kali?" tanya Bu Fitria sambil memegang tanganku.
Friska tahu, dia ingin menguatkan hatiku. Friska menepiskan tangan bu Friska dan mendorongnya.
"Pergi sana! Jangan mendekati Ayah," teriak Friska sambil menangis. Friska benar-benar tidak mau melihat ibu trinya itu. Dia terlalu sakit hati karena ayah selingkuh dengan perempuan itu.
"Neng kasihan, Ayah," ujar Mbok Nah sambil menggamit tubuhnya dan  melihat jenazah Ayah. Pak Umar membuka bagian kepala Ayah yang tertutup. Friska memeluk tubuh Ayahnya seraya menahan tangis. Setelah itu, Ummi Aisyah dan Mbok Nah membimbingnya dan mejauh dari jasad Ayah.
Friska menatap jasad Ayah yang dimasukan ke dalam keranda. Hampa ... entah rasa apa yang kini sedang bersemayam di hatinya. Kepergian kedua orang tuanya yang berjarak tidak terlalu jauh, membuat kesedihannya terus berlarut-larut.
Friska menatap Bu Fitria dan Raihan yang berdiri tak jauh darinya. Apakah dia harus terus memendam perasaan marah dan benci kepada mereka? Rasanya tidak adil buat mereka jika Friska terus memelihara kebencian itu. Biarlah waktu yang akan menyembuhkan lukanya. Untuk saat ini, Friska belum bisa menerima kehadiran mereka. Di lubuk hatinya hanya ada Bunda dan Ayah, sosok orang tua yang sangat dia sayangi dan tak akan bisa tergantikan,
Mentari tampak redup. Awan suram menemani prosesi pemakaman Ayah. Suasana sedih meliputi pemakaman terutama saat jenazah ayah akan dimasukan ke liang lahat. Bu Fitria dan Raihan menangis histeris. Friska berusaha tegar dan menahan tangisnya.
"Pergilah Ayah ... kembalilah ke pangkuan-Nya dengan tenang.," batin Friska di sela tangisnya.
Rabbighfir l, wa li wlidayya, warham hum kam rabbayn shaghr.
Cibadak, 5 Januari 2023