"Mengapa kalian di sini? Pergi! Pergi! Aku tidak mau melihat kalian di pemakaman ayah!" bentak Friska pada ibu sambung dan adik tirinya itu.
Ummi Aisyah menenangkan Friska dan menyuruh bu Fitria dan Raihan untuk menjauh dari Friska.
Beberapa petugas rumah sakit membawa jenazah Ayah ke ruang tengah. Di sana ada Ustaz Umar, beberapa orang jamaah mesjid dan para tetangga Friska. Mereka akan menyalatkan Ayah dan membacakan doa untuk almarhum Ayah.
Friska memandang ayah yang kini sudah terbujur kaku di hadapannya. Saat ini betul-betul dia merasakan kerinduan yang sangat mendalam pada ayahnya. Sejak kecil hingga saat dia akan kuliah ke Amerika, kedekatan keduanya kerap membuat Bunda cemburu. Figur seorang laki-laki yang dapat mengayomi, mencintai, menjadi sahabat buat anak semata wayangnya ada dalam sosok Ayah.
Ayah selalu memberikan motivasi di saat Friska sedang menghadapi masalah. Ayah juga membantu saat dia mengalami kesulitan pelajaran.
Friska ingat peristiwa yang menunjukkan jika Bunda cemburu kepada kedekatan mereka. Malam itu di teras belakang rumah, dia rebahan di amben yang ada di sana. Ayah duduk di kursi goyang yang ada di sampingnya. Kami berbicara santai seraya memuntahkan gelak tawa dari celoteh-celoteh kosong yang dibuat Ayah.
"Duh yang tertawa kok tidak bag-bagi, Bunda sih," seru Bunda yang tiba-tiba keluar dari rumah," Apa sih yang membuat kalian tertawa begitu?"
"Kasih tahu atau tidak ya," goda Ayah sambil memandang Friska jenaka.
"Kasih tahu, dong. Bunda juga ingin ikut tertawa, kan," bujuk Bunda sambil duduk di sampingku. Friska segera mengalihkan kepalanya ke pangkuan Bunda.
"Tidak usah, Yayah. Biar Bunda penasaran," seloroh Friska Mendengar ucapan Friska, Bunda memijit hidung Friska dengan keras.
"Ampun ... ampun, Yayah, please help me," teriak Friska sambil menjerit-jerit. Ayah tertawa melihat kejadian itu.