"Kematian merupakan sebuah kepastian. Tidak ada manusia yang bisa menjawab rumus kematian dengan pasti. Serahkan segala-galanya kepada Allah SWT." Nasihat Ummi Aisyah seraya membelai bahu Friska dengan lembut.
Friska hanya menundukkan kepala dan menahan isak tangis yang menyesakkan dadanya. Satu tahun lalu dia kehilangan ibunda karena kecelakaan tragis. Kini dia pun harus kehilangan ayah yang digerogoti penyakit yang mematikan.
Menyesal? Ya ... penyesalan Friska membuatnya terpuruk. Seharusnya dia tidak bersikap tidak adil pada ayah. Dia seharusnya menemani dan merawat ayah sejak kepergian bunda. Sikapnya yang membenci ibu tiri dan adik tirinya pasti sangat melukai hati Ayah dan pasti menambah berat penyakitnya itu. Namun, hati Friska tetap tidak bisa menerima kehadiran dua orang yang telah menyakiti hati bundanya.
Setelah dirawat selama lima hari di ruang ICU Rumah Sakit Cinta Kasih, ayah menyerah. Padahal selama ini dia tidak pernah mengeluh tentang penyakitnya.
"Sebentar lagi, ambulans yang membawa jenazah Tuan akan tiba, Mbak Friska," ujar Pak Ujang memberitahukan.
"Ya, Pak Ujang. Terima kasih. Saya akan ke depan," jawab Friska seraya bangkit. Ummi Aisyah menemani Friska.
Friska menunggu jenazah Ayahnya di ruang tamu. Di sana sudah ada beberapa pelayat yang menunggu. Saat melihat Friska, mereka bangkit dan menyalaminya serta menguatkan hatinya. Friska hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada mereka.
Tak lama kemudian mobil jenazah datang di pelataran rumah Friska. Dia melihat Bu Fitria, ibu tiri dan Raihan, adik tirinya turun dari bagian belakang. Mereka mendekati Friska yang berada di ruang tamu.
"Sabar ya ... Friska. Ayah sudah tenang di sana." Bu Fitria memeluk Friska seraya menangis.
"Kakak, kita ikhlaskan Ayah pergi, ya," ujar Raihan