Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta di Batas Senja

20 Desember 2022   20:28 Diperbarui: 20 Desember 2022   20:44 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadis di tengah kebun teh. Sumber: https://travelingyuk.com

Aku menyusuri kebun teh yang terbentang di kaki gunung Pangrango saat langit jingga yang memesona, menemani langkah-langkah kakiku yang tengah mengitari perkebunan teh ini. 

Aku bersama tiga temanku sengaja berlibur dan menginap di hotel "Cantika." Hotel ini letaknya di ketinggian sehingga udaranya cukup sejuk. Hotel ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan lokal.

Sudah satu tahun aku bertugas di kota mochi ini, tetapi baru kali aku sempat mengunjungi perkebunan teh yang letaknya agak jauh dari asrama  tempatku menginap.

Setelah salat asar tadi, aku dan teman-temanku mengunjungi perkebunan teh ini. Suasana di sini tidak terlalu ramai. Mungkin karena hari sudah sore sehingga para pengunjung sudah mulai pulang.

Aku berjala  menyusuri area perkebunan teh, sendiri. Sementara ketiga temanku memilih diam di warung dan menikmati secangkir kopi dan pisang goreng hangat.

Saat tiba di ujung perkebunan  aku melihat seorang gadis belia berdiri tegak di tepi jalan menatap hamparan batang-batang teh laksana permadani. Tiba-tiba angin berhembus kencang dan menerbangkan kerudungnya. Pemandangan indah yang membuai netra hatiku berdenyar-denyar.

Di waktu yang sama berpuluh-puluh burung pipit berbaris rapi tanpa paksaan, terbang mengangkasa. Mereka pulang kembali ke sarang karena hari telah beralih senja.

"Kandi, hayu geura balik!' teriak seseorang dari rerimbunan pohon teh. Dari suaranya pasti seorang pria paruh baya.

Baca juga: Puisi Rindu Pada-Mu

Gadis itu tetap ta  bergeming. Matanya masih menatap hamparan pepohonan teh seolah ada yang dinantikannya.

"Ayo, Kandi. Ngagugu atuh ka Bapak. Tingali panon poe tos surup. Sebentar lagi malam?" Suara itu tampak berusaha membujuk gadis tersebut.

Aku mencari suara laki-laki itu, tetapi bayangan dirinya pun tak tampak. Aku hanya melihat sang gadis hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum manis. Senyumnya dihiasi lesung pipi sehingga membuat hatiku berdebar-debar.

Kemudian gadis itu tahu jika aku melihatnya dari kejauhan. Dia memandangku penuh ketakutan dan berlari ke arah rerimbunan kebun teh.

Aku heran kemana perginya gadis dan bapak tadi? Apakah ada desa di balik perkebunan teh? Aku pikir perkebunan teh ini berbatasan dengan hutan lebat. Pasti ada jalan di sana yang menghubungkan perkebunan dengan desa terdekat. Tak mungkin kedua orang itu raib tak ada rimbanya. Kemudian aku berjalan ke arah teman-temanku berkumpul.

"Hai, Man. Ayo kita kembali ke hotel," ajak Rangga yang sejak tadi bercakap-cakap dengan Aldo dan Gandi di warung.

"Kalian melihat ada bidadari di kebun teh tadi?" tanyaku penasaran.

"Aku tidak melihat karena sejak datang aku berada di warung bersama Aldo dan Gandi," jawab Rangga.

"Iya, Man. Aku malas berkeliling kebun teh. Cape," sela Gandi," Mending menikmati kuliner sate kelincinya uenak tenan."

"Makanya perutmu buncit begini, Gan," selorohku sambil memukul perut Gandi yang buncit.

Kami semua tertawa kemudian masuk ke mobil yang diparkir tak jauh dari warung sate dan kembali ke hotel dengan menyisakan seribu tanya di hatiku.

Suara azan terdengar sayup- sayup 

 begitu tiba di hotel. Seusai salat, aku kembali membayangkan gadis misterius yang dilihatnya tadi. Aku masih penasaran dengan gadis itu. Senyumnya masih terbayang-bayang di benakku dan pastinya membuat debaran jantungku semakin kencang.

Aku harus mencari tah  tentang gadis manis itu. Salah satu caranya adalah dengan datang kembali ke perkebunan dan bertanya kepada orang-orang di sana.

***

Matahari masih bersembunyi di balik awan kelabu meski angka di jarum jamku sudah menunjukkan angka delapan. Hari ini diprediksikan hujan akan turun di seputar Jabodetabek. Suasana mendung ini membuat ketiga teman-temanku masih meringkuk di kamar.

Aku bergegas pergi ke perkebunan teh dengan harapan dapat bertemu kembali dengan gadis dengan senyuman manis kemarin. Senyuman yang telah membuat hatiku berdebar-debar. 

Setiba di sana, aku segera menuju tempat pertama kali melihat gadis yang bernama Kandi. Dia tak ada di sana. Yang terlihat hanya para pekerja yang sedang memetik daun-daun teh.

"Akang sedang mencari seseorang?" Tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya mendekati sambil bertanya.

"Oh ... ya, Pak. Maaf saya mencari gadis bernama Kandi," jawabku ragu-ragu.

"Kandi?" tanya laki-laki itu sambil menatapku tajam," Akang kenal dengan Kandi?"

"Hm ... tidak sih, Pak. Saya melihat dia kemarin sore di sini bersama bapaknya. Saya tahu namanya pun karena Bapak itu memanggil gadis itu," jelasku seraya kebingungan saat mendengar pertanyaan laki-laki itu.

"Rupanya dia muncul lagi," ujar  laki-laki yang ternyata bernama Abah Ujang.

"Maksud Bapak?" Aku bertanya sambil memandang Abah Ujang dengan tatapan tak mengerti.

"Begini, Kang. Lima belas tahun lalu ada gadis bernama Srikandi. Neng Kandi memang sangat cantik dan jadi primadona di desa ini. Banyak laki-laki, tua muda tertarik kepadanya, antara lain Tuan Muda Irfan anak pemilik perkebunan teh ini. Srikandi tidak mau menerima cinta Irfan karena sudah mencintai Hamdan, anak santri di kampungnya." Abah Ujang berhenti sejenak dan mengambil sebatang rokok di sakunya kemudian menyulutnya.

"Apa yang terjadi kemudian,Bah?" tanyaku tak sabar.

"Hamdan meninggal misterius. Jasadnya tak ditemukan. Kandi merasa terluka apalagi dia dipaksa menikah dengan Irfan. Akhiarnya Kandi memilih menyusul Irfan dengan menggantung diri di pohon alpukat dekat rumahnya. Bapaknya merasa tak sanggup  ditinggal oleh putri semata wayangnya. Dia sakit-sakitan dan tak lama menyusul kepergian putrinya," papar Abah Ujang.

"Jadi ... yang saya lihat kemarin sore itu ...?" tanyaku ragu-ragu.

"Ya sejak kematian Kandi dan Bapaknya, beberapa penduduk  sering melihat penampakan Kandi yang sedang menunggu seseorang di sini setiap senja bersama Bapaknya. Mungkin dia sedang menunggu Hamdan, kekasihnya." Abah Ujang berbicara sambil menatapku.

Abah Ujang meninggalkan aku sendiri yang terpaku berdiri sambl menatap hamparan kebun teh.

"Innalilahi wa inna ilahi rojiun. Semoga arwah mereka tenang dan diterima Allah Swt," lirihku sambil memegang bulu kudukku yang merinding.

Cinta tak bisa dipaksakan meskipun orang yang yang akan menjadikan kita pasangan orang tajir. Cinta adalah masalah hati dan rasa.

Cibadak 20 Desember 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun