"Begini, Kang. Lima belas tahun lalu ada gadis bernama Srikandi. Neng Kandi memang sangat cantik dan jadi primadona di desa ini. Banyak laki-laki, tua muda tertarik kepadanya, antara lain Tuan Muda Irfan anak pemilik perkebunan teh ini. Srikandi tidak mau menerima cinta Irfan karena sudah mencintai Hamdan, anak santri di kampungnya." Abah Ujang berhenti sejenak dan mengambil sebatang rokok di sakunya kemudian menyulutnya.
"Apa yang terjadi kemudian,Bah?" tanyaku tak sabar.
"Hamdan meninggal misterius. Jasadnya tak ditemukan. Kandi merasa terluka apalagi dia dipaksa menikah dengan Irfan. Akhiarnya Kandi memilih menyusul Irfan dengan menggantung diri di pohon alpukat dekat rumahnya. Bapaknya merasa tak sanggup  ditinggal oleh putri semata wayangnya. Dia sakit-sakitan dan tak lama menyusul kepergian putrinya," papar Abah Ujang.
"Jadi ... yang saya lihat kemarin sore itu ...?" tanyaku ragu-ragu.
"Ya sejak kematian Kandi dan Bapaknya, beberapa penduduk  sering melihat penampakan Kandi yang sedang menunggu seseorang di sini setiap senja bersama Bapaknya. Mungkin dia sedang menunggu Hamdan, kekasihnya." Abah Ujang berbicara sambil menatapku.
Abah Ujang meninggalkan aku sendiri yang terpaku berdiri sambl menatap hamparan kebun teh.
"Innalilahi wa inna ilahi rojiun. Semoga arwah mereka tenang dan diterima Allah Swt," lirihku sambil memegang bulu kudukku yang merinding.
Cinta tak bisa dipaksakan meskipun orang yang yang akan menjadikan kita pasangan orang tajir. Cinta adalah masalah hati dan rasa.
Cibadak 20 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H