Aku mencari suara laki-laki itu, tetapi bayangan dirinya pun tak tampak. Aku hanya melihat sang gadis hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum manis. Senyumnya dihiasi lesung pipi sehingga membuat hatiku berdebar-debar.
Kemudian gadis itu tahu jika aku melihatnya dari kejauhan. Dia memandangku penuh ketakutan dan berlari ke arah rerimbunan kebun teh.
Aku heran kemana perginya gadis dan bapak tadi? Apakah ada desa di balik perkebunan teh? Aku pikir perkebunan teh ini berbatasan dengan hutan lebat. Pasti ada jalan di sana yang menghubungkan perkebunan dengan desa terdekat. Tak mungkin kedua orang itu raib tak ada rimbanya. Kemudian aku berjalan ke arah teman-temanku berkumpul.
"Hai, Man. Ayo kita kembali ke hotel," ajak Rangga yang sejak tadi bercakap-cakap dengan Aldo dan Gandi di warung.
"Kalian melihat ada bidadari di kebun teh tadi?" tanyaku penasaran.
"Aku tidak melihat karena sejak datang aku berada di warung bersama Aldo dan Gandi," jawab Rangga.
"Iya, Man. Aku malas berkeliling kebun teh. Cape," sela Gandi," Mending menikmati kuliner sate kelincinya uenak tenan."
"Makanya perutmu buncit begini, Gan," selorohku sambil memukul perut Gandi yang buncit.
Kami semua tertawa kemudian masuk ke mobil yang diparkir tak jauh dari warung sate dan kembali ke hotel dengan menyisakan seribu tanya di hatiku.
Suara azan terdengar sayup- sayupÂ
 begitu tiba di hotel. Seusai salat, aku kembali membayangkan gadis misterius yang dilihatnya tadi. Aku masih penasaran dengan gadis itu. Senyumnya masih terbayang-bayang di benakku dan pastinya membuat debaran jantungku semakin kencang.