Hujan yang turun membuat suasana jalanan sangat sepi. Hanya sedikit orang yang tampak berlalu lalang di jalan raya. Cuaca yang tidak mendukung dan udara dingin seperti ini membuat orang memilih diam di rumah, menikmati tayangan televisi atau sekedar bermain gawai sambil merebahkan diri.
Aku menjalankan kendaraanku pelan- pelan sambil mencari- cari penjual gorengan atau penjual baso. Udara dingin seperti ini memang enaknya makan sesuatu yang hangat untuk menghilangkan rasa dingin di tubuh.
Aku melihat ada warung bakso di ujung jalan Simatupang. Di spanduk tertulis "Bakso Janda Mas Pardi." Wah dari judulnya saja sudah membuat orang tertarik. Pikiran pasti akan membayangkan yang lain, padahal Janda itu singkatan dari Jawa Sunda. Akhirnya aku memutuskan untuk menghentikan mobilku di depan warung. Seorang juru parkir membunyikan peluit untuk membantuku parkir.
Saat memasuki warung, aku melihat ada tiga orang pengunjung laki-laki dan seorang perempuan yang sedang menikmati bakso. Warung memang terlihat tidak ramai mungkin pengaruh hujan yang terus menerus turun sejak pagi tadi serta waktu memang sudah menunjukkan angka 11.
"Selamat malam, silakan masuk, Mas. Mau pesan apa?" sapa seorang laki-laki saat aku baru saja duduk. Aku mengambil tempat duduk di pojok warung agar terlindungi dari udara dingin.
"Bakso urat dan teh manis panas, Mang," jawabku seraya mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan warung.
Warung ini sangat bersih. Pantas warung ini selalu dipenuhi pembeli. Selain penjualnya ramah, kebersihan di warung ini sangat dijaga.
"Ini Mas pesanannya," ujar penjual baso sambil menata pesanan di meja. Semangkuk baso panas dan teh manis panas sudah terhidang dan tentunya sangat menggugah seleraku. Aku mulai menikmati baso tersebut setelah berdoa tentunya.
Tiba-tiba masuk seorang perempuan dengan menggunakan gaun sepanjang lutut dan berjas dari bahan denim. Selain itu perempuan itu menggunakan sepatu high heel. Dia duduk tak jauh dari tempatku duduk saat ini.
"Aku nyuwun teh anget yo, Mas Pardi," pinta perempuan itu sambil mengambil sebatang rokok dari dalam tasnya dan menyulutnya dengan korek gas. Kemudian dia menghisap rokok tersebut pelan-pelan.
"Ini, Jum. Kamu kok sudah balik. Nanti bos-mu mencak-mencak lagi," ujar Mas Pardi, tukang baso itu, seraya menyodorkan segelas teh yang masih mengepul.
Diam-diam aku mengamati perempuan itu. Usianya sekitar 35 tahunan, putih, cantik. Wajahnya bermake up tipis dan bibirnya bergincu warna merah muda.
"Aku sudah cape, Mas Pardi. Aku sudah tidak kuat lagi denger nyinyiran tetanggaku. Mereka bilang, aku lonte, tak punya harga diri, kerjanya godain laki orang, Mereka tidak tahu kalau aku cuma kasir di klub malam itu," keluh perempuan yang dipanggil Jum itu.
Aku kembali mencuri pandang ke arah perempuan itu. Tampak guratan kesedihan di wajahnya.
"Mbok ya kamu resign dari pekerjaan itu, Jum. Mau tidak mau tempat itu punya kesan tidak baik, tempat orang dugem, dan tempat para hidung belang mencari hiburan sesaat," nasihat Mas Pardi.
Rupanya Jum itu bekerja di klub malam. Aku mulai berpikir selain kasir mungkin ada layanan plus-plus dari dia sehingga tetangga-tetangganya nyinyir. Siapa yang tak jengah bila ada perempuan di lingkungan mereka bekerja di tempat 'gituan'. Pasti perempuan-perempuan itu ketakutan jika para suami mereka melirik kepada si Jum ini.
"Terus aku mesti nyambut gawe opo, to, Mas. Ijazahku SMP. Aku yo tidak punya keterampilan. Sinten sing arep biayai anak-anakku." Jum berbicara sambil mngembuskan asap rokok ke udara. Seolah ia ingin membuang lara yang sedang menyesakkan di dada.
"Kamu nyambut gawe yang lain misalnya kerja pabrik, jadi asisten rumah tangga. Itu lebih terhormat dari pada kerja di night club. Kasihan Ara dan Ari. Mereka sudah bertambah besar. Pasti mereka akan mendengar para tetanggamu yang mengejek dan menghinamu," nasihat Mas Pardi sambil menatap Jum.
"Seandainya suamiku masih ada, mungkin aku tidak akan menderita seperti ini yo, Mas," keluh Jum sambil menundukkan kepalanya.
"Ya sudahlah. Ikhlaskan suamimu. Dia sudah tenang di alam sana." Kembali Mas Pardi menasihatinya.
Aku malu telah memiliki prasangka buruk kepada Jum. Tetap menjadi ibu rumah tangga merupakan pilihan bagi setiap perempuan dewasa yang sudah menikah. Namun, tidak semua perempuan memiliki pilihan itu.
Ketika tuntutan untuk menafkahi keluarganya harus dipenuhi, setiap wanita pasti berjuang sekuat tenaga agar dia dan keluarganya bisa hidup berkecukupan. Beberapa perempuan rela melakukan apa pun termasuk melupakan harga dirinya agar bisa menghidupi anak-anaknya.
Begitu pula dengan perempuan itu. Jum hanya ingin mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Dengan status sebagai single parents. Dia harus rela bekerja keras demi anak-anaknya meski untuk itu dia harus mengikhlaskan harga dirinya terinjak-injak. Pekerjaan yang dianggap sebelah mata oleh sebagian besar tetangganya. Seorang pekerja malam selalu dianggap sebagai pekerjaan yang kurang baik di masyarakat. Banyak orang yang selalu menghakimi orang lain tanpa melihat akar permasalahan sebenarnya. Seperti Jum yang berjuang sendirian untuk menghidupi keluarganya. Adakah yang peduli pada kehidupan dan penderitaannya?
Aku menghela napas panjang. Aku melihat jam di hand phoneku menunjukkan angka 12. Sudah satu jam aku berada di warung baso ini dan mencuri dengar percakapan Mas Pardi dan Jum. Aku bangkit dan membayar baso kemudian pulang.
Mendung dan hujan terus menemaniku yang menyusuri penghujung  malam.
Cibadak, 14 November 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H