Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Flash Fiction: Rejeki

14 Oktober 2022   22:39 Diperbarui: 15 Oktober 2022   09:04 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasih duduk di sudut warung tegal yang sedang ramai dipenuhi pengunjung. Dia sengaja datang ke sini untuk mengisi perutnya yang sejak semalam belum terisi makanan. Perutnya terasa melilit dan perih.

Kasih memang harus berhemat karena kiriman uang dari orang tuanya tidak akan mencukupi untuk biaya hidupnya di Bandung. Usaha dagang ayahnya sedang tidak baik-baik saja bahkan selalu merugi. 

Sementara ibunya hanya menjadi seorang karyawan di salah satu pabrik sepatu di kota Mochi dan gajinya hanya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan menyisihkan sedikit bekal buat Kasih.

Kasih melanjutkan kuliah karena dia mendapatkan bea siswa bidik misi. Meski berasal dari kalangan menengah ke bawah, Kasih sangat tekun dan pandai. Kasih menjadi peringkat pertama di sekolahnya. Saat SMA pun dia bebas dari biaya apa pun karena prestasinya.

Dia melihat ke arah seorang nenek tua yang sedang menengadahkan tangannya ke arah orang - orang yang tengah menikmati makanannya. Nenek itu menengadahkan tangannya.

"Mohon belas kasihan, Pak. Saya belum makan," ujarnya lirih saat seorang laki-laki melintas di hadapannya.

Namun tak seorang pun yang memberikan uang kepadanya meski receh sekali pun. Wajah nenek itu sangat memelas seraya memohon kepada setiap orang yang melewatinya.

Betapa pilu hati Kasih melihat tidak ada seorang pun yang menghiraukan nenek itu. Kasih merogoh uang yang ada di tas ranselnya. Selembar uang ratusan ribu yang tersisa. Itu pun akan dipakainya membayar makan siang di warteg ini.

"Ini pesanannya, Mbak," ujar seorang perempuan menyodorkan sepiring nasi, sayur lodeh  dan tahu goreng. Kasih pun memesan satu nasi bungkus. Kemudian Kasih menyantap makanannya sembari melihat si nenek itu. 

Setelah selesai makan, Kasih memberikan uang ratusan ribu itu kepada pemilik warung. Kasih menerima uang kembalian sebanyak tujuh puluh ribu.

Lantas, Kasih menuju ke arah nenek itu dan memberikannya sedikit uang dan sebuah bungkusan yang berisi makanan.

"Terima kasih, Neng. Sejak pagi nenek belum makan." Si Nenek berbicara sambil membuka nasi bungkus bersama tahu, tempe bacem dan sepotong dadar telur.

"Maaf, Nek. Saya hanya bisa membelikan nasi bungkus dengan lauk ala kadarnya," ujar Kasih menjelaskan.

"Tidak apa- apa, Neng. Ini juga sudah cukup," ujar si Nenek sambil tersenyum.

"Syukurlah jika Nenek berkenan. Saya permisi dulu ya, Nek mau ke kampus." Kasih melangkahkan kakinya.

"Tunggu, Neng!" teriakan si Nenek pengemis itu menghentikan langkah Kasih.

"Iya, Nek. Ada apa, ya?" tanya Kasih sambil mendekati nenek itu kembali.

"Sebagai tanda terima kasih, saya akan memberikan sesuatu kepadamu," ucap Nenek sambil mengeluarkan sesuatu di balik kantong bajunya," Ini, untukmu.'

Kasih melihat selembar kertas bertuliskan angka seratus juta dan ada tanda tangan dan nama satu bank terkenal. Kasih memandang nenek yang sedang asyik menikmati nasi bungkus.

"Ini apa, Nek. Ini mainan, ya?" tanya Kasih bingung.

"Itu betul, Neng. Cek itu asli," ujar seorang lelaki yang datang dari arah warung tegal.

Kasih masih bingung dan tak mengerti apa maskud semua itu.

"Kamu harus tahu, Nenek itu bernama Nenek Khadijah, pengusaha garmen terkenal di Indonesia. Saya Parmin, asisten pribadi beliau. Nenek Dijah sengaja menyamar untuk membuktikan bahwa masih ada orang yang memiliki hati yang baik dan ikhlas tanpa pamrih. Sejak pagi Nenek duduk di situ, baru Neng-lah yang mau menolongnya," jelas Pak Parmin.

"Ya, Neng. Tadinya Nenek sempat yakin bahwa sekarang ini orang sudah tidak peduli pada kesulitan orang lain karena sejak pagi tidak ada yang mau membantu Nenek. Alhamdulillah keraguan Nenek tidak terbukti."

"Apa maksudnya cek ini? Saya ikhlas membantu, Nenek," sergahku seraya menyerahkan kembali uang itu.

"Nenek juga ikhlas. Kamu bisa pakai uang itu untuk kebutuhanmu. Sekali lagi Nenek mengucapkan terima kasih kepadamu. Ini kartu nama Nenek, silakan kamu bisa datang ke rumah Nenek."

Nenek Khadijah dan Pak Parmin berlalu dan masuk ke sebuah mobil mewah yang diparkir tak jauh dari tempat mereka.

Kasih masih terpaku dan tak percaya dengan kejadian yang dialaminya. Allah Swt memang Maha Adil dan Maha Pemberi Rejeki. Mungkin inilah jawaban atas doa-doa Kasih selama ini. Allah Swt datangkan rejeki melalui orang baik seperti Nenek Dijah.

"Barang siapa terus menerus memohon ampunan (kepada Allah), maka Allah akan memberikan baginya kebebasan dari setiap kesusahan, jalan keluar dari setiap kesempitan, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun