"Iya, betul. Anda ini siapa? Kok mengenal saya?" tanyaku sambil memandangi kembali pemuda itu. Aku melihat pemuda itu mendekatiku dan mengulurkan tangannya.
"Assalamualaikum, Bu. Apa kabar?" Pemuda itu mengambil tanganku dan menciumnya. Kemudian dia duduk tepat di sampingku tanpa menunggu izin.
"Waalaikumussalam ...," jawabku ragu-ragu sambil bersikap waspada. Aku takut pemuda ini berniat jahat kepadaku.
"Ibu pasti lupa kepada saya. Saya Heru, murid Ibu di SMP." Pemuda itu menjelaskan jati dirinya, tetapi aku masih belum menangkap bayangan memori di benakku.
"Kamu alumni SMP N 2 Cibadak? Tahun berapa?" tanyaku belum yakin sambil tetap hati-hati.
"Tahun 2015, Bu. Ibu pernah menjadi wali kelas saya saat kelas dua. Saya siswa yang paling disayang ibu dan yang paling sering dikunjungi Ibu," jelas pemuda itu sambil mengharapkan aku dapat mengingatnya.
Wah, kalau sudah bicara anak yang paling disayangiku biasanya aku ingat. Artinya, siswa ini sering aku panggil karena sering berbuat ulah. Aku sering membahasakan anak-anak yang 'bandel' ini adalah anak kesayanganku karena sering aku panggil ke ruang BP.Â
"Saya bahagia bisa bertemu dengan Ibu. Rencana saya akan datang ke sekolah dan mencari Ibu di sana siang ini. Untunglah saya bisa bertemu dengan Ibu di sini," ujar Heru senang.
"Ya, ... Ibu ingat sekarang. Heru yang pernah Ibu suruh menyanyikan lagu Indonesia Raya di lapangan gegara kamu sering bolos upacara, 'kan?' tanyaku meyakinkan.
"Nah, ... Ibu ingat juga akhirnya," cetus Heru sambil tertawa, "Saya senang melihat Ibu sehat."
"Alhamdulillah, Ru. Ibu sehat meski umur sudah semakin bertambah. Apa kabarmu sekarang? Bekerja di mana? Tinggal di mana?' Aku memberondong Heru dengan berbagai pertanyaan.