Kedua, tunarungu yang terjadi setelah lahir biasanya disebabkan oleh paparan suara keras dalam jangka panjang, usia, cedera, dan penyakit tertentu, misalnya infeksi.
Ada beberpa klasifikasi bagi penyandang tuna rungu, yaitu:
- Kondisi tuna rungu sangat ringan kemampuan mendengar 27 dB- 40dB. Penyandang tuna rungu dalam klasifikasi ini masih mampu mendengar dari jarak dekat.
- Kondisi tuna rungu ringan kemampuan mendengar adalah 41db -- 51 dB. Penyandang tuna rungu dengan klasifikasi ini hanya mampu mendengar suara dalam jarak 3 kaki dan harus berhadap-hadapan. Pada kondisi ini dibutuhkan alat bantu dengar agar kosa kata yang lebih banyak dapat diserap. Terapi wicara sudah mulai diberikan agar kosa kata yang dipelajari semakin banyak.
- Kondisi tuna rungu sedang 50dB- 76 dB. Kondisi ketunaan ini harus memakai alat bantu mendengar di sepanjang waktu kecuali mandi dan tidur, Penggunaan alat bantu mendengar ini dapat membantu pemahaman kosa kata yang didengar.
- Kondisi tuna rungu berat 71 dB -- 90dB. Kondisi penyandang tuna rungu ini harus diberikan teknik-teknik khusus dalam berkomunikasi karena sudah tidak bisa mendengar suara. Bahasa isyarat harus mulai diajarkan kepada mereka.
- Kondisi tuna rungu ekstrem yaitu penyandang ketunaan lebih dari 90dB. Penyandang tuna rungu dalam kondisi seperti ini cenderung mengenali suara melalui getaran dibandingkan pola suara
Kondisi tuna rungu berat dan ekstrem sudah sepatutnya belajar bahasa isyarat agar mereka dapat berkomunikasi dengan yang lainnya.
Bahasa Isyarat Perlu Dikuasai Oleh Orang-Orang Normal Untuk Membantu Para Kaum Deafabel
Pernahkah kita memahami saat ada seorang anak tuna rungu bertemu dengan kita dan mereka menanyakan tentang sesuatu dengan bahasa isyarat?Â
Saya yakin yang akan kita lakukan adalah dengan bengong karena tidak memahami apa yang disampaikan kemudian pergi sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sementara si anak tuna rungu sangat mengharapkan jawaban dan penjelasan dari kita.
Dari berita Kompas.com - 02/12/2021, memuat berita tentang Menteri Sosial Risma Arini yang memaksa seorang tuli berbicara.
tanpa menggunakan bahasa isyarat dalam acara hari Disabilitas Internasional hari Rabu, 1 Desember 2021 lalu. Walhasil sang menteri panen kritik pedas.
Saat itu Risma Arini sedang berkeliling ke stand pameran. Tibalah Sang Menteri ke stand lukisan anak tuna rungu. Setelah selesai melukis, Menteri Risma menyuruh kedua anak tampil ke panggung, yakni Anfil dan Aldi. Anfil adalah penyandang disabilitas mental dan rungu diminta menyampaikan hal yang ingin disampaikan pada Risma secara langsung tanpa menggunakan alat.Â
Begitu juga yang disampaikan kepada Aldi, penyandang autis dan kesulitan berkomunkasi diminta berbicara oleh ibu Menteri.
Alasan Menteri Risma saat itu adalah ia ingin para penyandang disabilitas dapat memaksimalkan penggunaan anggota tubuh yang diberikan Tuhan.Â
Dia mencontohkan dengan tokoh Angkie, seorang staf presiden yang tuna rungu dan mampu menjadi orang yang normal. Namun ibu Menteri Risma kurang memahami bahwa tidak setiap tuna rungu bisa berbicara seperti Angkie.
Seharusnya kita tahu klasifikasi tuna rungu yang dapat memaksimalkan pendengaran dan menjadi orang yang normal dengan bantuan alat bantu dengar itu yang mana. Tidak semua tuna rungu bisa seperti Angkie dilihat dari klasifikasi yang dialaminya.