"Kalau kamu mau tahu jawabannya, bacalah surat Andin Juna. Maaf Oom harus bersiap-siap untuk menyusul mereka," kata Oom Dewo di depan pintu. Aku hanya termangu mendengar ucapan Oom Dewo.
   Aku pulang dengan gontai. Pasti ada sesuatu yang serius dengan Andin sehinggaseluruh keluarganya harus pergi ke Singapura. Jika penyakitnya tidak berbahaya, mungkin Andin hanya berobat di Indonesia. Toh banyak rumah sakit yang lengkap di Jakarta.
   Aku mengendarai motorku dengan kencang agar segera tiba di rumah. Aku ingin tahu apa yang Andin tulis untukku. Apa yang sebenarnya terjadi padanya. Bintang-bintang di langit tak ada yang berkelip. Semuanya bersembunyi di balik awan yang kelabu malam ini.
                                                                       *****
    Suasana rumah tampak sepi. Hanya ada pak Udin dan pak Ujang yang sedang menjaga di depan pos keamanan. Kebetulan rumahku terletak di depan pos keamanan kompleks. Aku segera masuk ke dalam kamar tanpa menghiraukan teguran bang Aldi yang sedang menonton motor GP. Biasanya aku tak pernah absen nonton bareng sama bang Aldi.
    Aku merebahkan tubuhku dan segera membuka sampul amplop dari Andin.
    Assalamualaikum, Juna. Saat kamu membaca surat ini mungkin aku sudah terbang tinggi bersama para bidadari atau juga masih bermain bersama selang-selang infus. Hanya Allah SWT yang tahu kisah hidupku saat ini, Juna.
   Kamu pasti marah, bingung, kesal karena aku tak pernah menceritakan yang satu ini kepadamu. Padahal aku selalu menceritakan semuanya kepadamu bahkan aku tak pernah merahasiakan  sekecil apa pun apa yang kualami dan kurasakan sepanjang persahabatan kita. Aku sangat mempercayaimu bahkan...akhir-akhir ini aku selalu merasa takut kehilanganmu.Mungkinkah rasa itu bukan hanya sekedar sayangnya seorang sahabat melainkan...ikh aku jadi malu mengakuinya karena kita masih terlalu kecil untuk membicarakan itu.
   Jun, kamu masih ingat saat kita berdiri di atas genting rumahku dan memandang bintang-bintang yang sedang bersinar indah. Saat itu ada sebuah bintang yang bersinar paling terang dan apa katamu saat itu:"Ndin,andai aku bisa terbang, aku ingin mengambilkan bintang itu untuk kuberikan padamu."
   Aku hanya bisa tertawa saat itu. Dan kini aku ingin kau bawa bintang itu ke pangkuanku agar sinarnya dapat memberikan cahaya terang bagi hidupku. Ya...diagnose dokter kalau aku tinggal menghitung perjalananku dalam hitungan bulan. Sejak satu tahun lalu, aku divonis terkena kanker hati stadium lanjut. Sebenarnya aku sudah sering berobat ke rumah sakit di Singapura secara rutin. Namun aku selalu merahasiakan semua ini kepadamu. Aku selalu mengatakan bahwa kami akan jalan-jalan. Aku tak ingin kau tahu apa yang kuderita meski untuk itu aku harus merahasiakan ini padamu. Aku ingin cerita kita di sisa-sisa hidupku hanya berisi kisah indah, lucu dan menyenangkan tanpa dihiasi kisah duka.................................
   Aku tak tahan lagi membaca surat Andin. Aku menangis sesegukan. Andin mengapa kamu merahasiakan ini padaku. Selama ini kamu menahan sakit sendiri. Kamu merahasiakan
deritamu kepadaku. Mengapa Andin? Sesalku dalam hati. Apa yang kau rasakan mungkin tak berbeda denganmu. Rasa sayangku kepadamu mungkin bermakna lain namun saat ini kita belum boleh membicarakannya. Biarlah rasa itu kita pendam jauh di lubuk hati kita.