Dalam komunitas SDE Mangunan ini, kerja sama itu dibudidayakan. Teman-teman kecil ini belajar berkomunikasi yang baik, menanggapi cerita dengan baik, dan memuji presentasi teman-teman. Pendirinya percaya bahwa sekolah harus dipenuhi suasana solidaritas dan bukan kompetisi.
Nafas ini juga yang membuat sekelompok orangtua memutuskan untuk berbagi rujak, tanaman, dan ilmu membuat eco enzyme dengan cuma-cuma. Setelah membantu anak masing-masing bersiap, para orangtua ini bekerja sama lagi mengupas buah dan menata meja untuk berbagi rujak. Buah dan bumbu rujak juga ada karena kerja sama. Masing-masing orangtua menitip pada anaknya aneka buah dan kulitnya yang akan menjadi bahan eco enzyme. Ada juga orangtua yang sudah sejak hari sebelumnya menyapu area pendopo tempat pameran karya berlangsung, beliau juga membantu mendekor, bahkan menjadi petugas pengatur soundsystem. Anak-anak juga banyak yang berkelompok membuat karya.Â
Perayaan Milik Semua
Tidak ada yang ditunjuk guru untuk bercerita dalam Festival Literasi ini. Semua yang ingin bercerita bisa bercerita. Bukan anak terbaik dalam Bahasa Mandarin atau Bahasa Inggris saja yang bisa berbagi di depan orang banyak. Bukan pula guru atau orangtua yang menjadi tokoh utama melainkan anak-anak. Semua punya tempat dan waktu. Ini ternyata adalah praktek yang baik sebab mereka tidak perlu merasa dibandingkan. Produk mereka berbeda-beda, proses mereka juga berbeda, tentu saja ceritanya menjadi berbeda-beda. Jika semua unik, bagaimana kita akan membandingkan?
Kesenangan belajar memang mestinya adalah milik semua. Dan rasa meriah dari keberbedaan itu sungguh terasa. Kemeriahan yang hanya bisa dirasakan oleh hati dan pikiran yang sungguh tersedia untuk mekarnya teman-teman kecil, untuk kegiatan belajar yang menyenangkan.
Karena semua berkegiatan pada saat yang bersamaan, saya teringat masa belajar wayang di negri lain. Profesornya mengutip salah seorang ahli yang berkata bahwa pertunjukan wayang sebetulnya adalah pertunjukan bagi para dewa. Namun demikian, penonton, gorengan, gunjingan, anak-anak dan semua yang ada di sekitar panggung itu harus ada sebagai pemenuhan syarat pertunjukan yang berkenan bagi para dewa. Saya merasa bahwa Festival Literasi ini adalah Festival untuk Sang Maha Guru, yang menciptakan teman-teman kecil itu, yang memberi kemerdekaan bagi mereka untuk bersenang-senang dan merayakan apa yang mereka dapat.Â
Acara ini kemudian menjadi begitu sakral bagi saya. Bahwa ada anak-anak lain yang berlarian, kelas-kelas lain yang belajar, dan bahkan mungkin orangtua yang bergunjing, itu semua adalah pemenuhan syarat. Syarat yang menyadarkan bahwa proses belajar itu ada di tengah segala peristiwa lain yang tetap berjalan. Belajar itu tidak boleh terbatas tembok dan waktu.Â
Pulang
Hari itu, hati dan pikiran saya penuh dalam arti yang positif. Penuh kehangatan, penuh ilmu baru, ilmu hidup yang tidak bisa didapat hanya dengan sekadar berselancar dalam mesin pencari. Kemeriahan Festival Literasi SDE Mangunan hari itu perlu dibagikan. Dibagikan untuk dibaca administrator sekolah-sekolah lain yang sedang mencari model presentasi proyek sebagai bagian dari penerapan program sekolah merdeka, dibagikan kepada para orangtua yang gelisah mempersiapkan ujian akhir putra-putrinya, juga pada para guru dan karyawan SDE Mangunan yang kesabarannya sebesar Samudera Pasifik. Semoga kita semua mampu selalu mengempatkan mitra didik sebagai pusat belajar.
Salam Belajar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H