Cantik itu Luka adalah sebuah novel yang ditulis Eka Kurniawan yang sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Ceritanya sedih sedih miris, tentang seorang perempuan cantik yang harus menderita seumur hidupnya karena kecantikannya.Â
Saya teringat judul novelnya ketika melihat seekor penyu yang baru saja bertelur dan ditunggangi penduduk sekitar ketika hendak kembali ke laut. Mungkin bagi mereka, penyu itu lucu, berbadan besar tetapi tidak mengintimidasi. Dan para penunggang penyu di dalam video juga terlihat bahagia menikmati kenyamanan menunggang penyu yang lucu.
Padahal, saat bertelur, penyu itu mengeluarkan energi yang tidak sedikit seperti layaknya manusia perempuan melahirkan. Jadi bayangkan saya rasanya habis melahirkan mau kembali ke tempat istirahat lalu ditunggangi orang seperti itu. Sayangnya kejadian penyu menderita karena lucu ini bukan pertama yang saya dengar.
Seorang penggiat komunitas Reispirasi yang berjuang menyelamatkan penyu di Pantai Samas, Bantul, Yogyakarta, Mas Deny, mengatakan bahwa pernah ada seekor penyu yang baru saja selesai bertelur dibawa ke parkiran pantai untuk tontonan.Â
Deny mengatakan penyu biasanya bertelur di saat gelap atau saat hampir gelap, tetapi kadang-kadang ada penyu yang bertelur di saat hari masih terang, mungkin karena di saat gelap ada begitu banyak gangguan dan mereka sudah tak kuat menunggu senja lagi.Â
Penyu yang dibawa ke parkiran tadi akhirnya mati karena dia harus berjalan-jalan di tempat keras. Ingat penyu bukan kura-kura yang memiliki kaki yang memungkinkan mereka berjalan di lahan keras. Kaki penyu didesain oleh Sang Pencipta untuk bisa digunakan berenang dengan baik di laut. Penyu tadi mati karena kepanasan dan luka. Memang bagi penyu, lucu itu luka.
Penyu itu sudah lucu sejak dari telur. Telur penyu tidak seperti telur ayam yang keras cangkangnya. Telur penyu seperti jeli. Jadi kadang, ketika ada sarang penyu ditemukan dan proses pemindahan telur penyu dilakukan, ada telur penyu yang tak sengaja rusak teremas. Ini biasanya terjadi ketika pemindahan telur penyunya dilakukan bersama anak-anak sekolah.Â
Mereka gemas memegang telur yang kenyal seperti jeli. Cerita ini saya dapat dari postingan sebuah blog yang menceritakan tentang tempat penyelamatan penyu di Pantai Samas yang digagas oleh Pak Rujito, seorang pemburu penyu yang bertobat. Bahkan dari telur pun, kelucuan penyu sudah membuat mereka terluka.
Meskipun isu terancamnya penyu oleh kepunahan semakin gencar terdengar, sepertinya masih banyak orang yang tidak sadar betul apa artinya. Bagi banyak orang, masalah itu terlalu jauh dariku, tidak akan mempengaruhiku, dan pada akhirnya tidak memerlukan perhatianku. Maka ketika orang-orang melihat penyu yang sesungguhnya, yang muncul bukan usaha untuk melindunginya melainkan usaha untuk mengabadikannya dan menikmati kelucuannya.
Sebenarnya kalau kita sungguh-sungguh mau melihat lebih dekat, kita akan terenyuh melihat perjuangan penyu yang lucu. Bahkan ketika masih menjadi telur, mereka sudah terancam tidak jadi melihat dunia karena banyak binatang lain mengincarnya seperti biawak, babi hutan, tikus, bahkan tentu saja manusia.Â
Pada hari Minggu, 7 Juli 2019, Mas Deny yang saya sebut di atas, bercerita bagaimana komunitas Reispirasi kehilangan telur penyu satu bak pasir. Ini jelas bukan ulah tikus yang tentut saja tidak mampu mengangkut sekian banyak telur penyu dari bak pasir tempat telur penyu dierami.Â
Telur penyu juga rawan terbawa ombak, jika induknya bertelur terlalu dekat ke laut. Oleh karena itu, komunitas-komunitas penyelamat penyu memindahkan telur-telur penyu tersebut ke tempat yang lebih aman.
Ketika sudah menetas, bayi-bayi penyu masih harus berjalan kembali ke laut, menghadang binatang lain yang juga masih melihat mereka dengan laparnya. Ketika di dalam laut, bayi-bayi ini juga tentu saja harus berhadapan dengan predator laut yang tak kalah berbahayanya dari predator lain di darat.
Karena beratnya perjuangan embrio penyu, dari 1000 tukik atau bayi penyu yang menetas, hanya satu yang bertahan hidup sampai dewasa dan bertelur. Perjuangannya mungkin lebih berat dari sperma manusia yang akhirnya jadi kita semua di dunia. Seandainya perjuangan sperma seberat perjuangan embrio penyu, mungkin jumlah populasi manusia di dunia tidak akan sebanyak ini.
Semoga setelah membaca ini, kita menahan diri untuk melakukan hal-hal yang membahayakan penyu lucu. Bukankah kita juga tidak akan melakukan hal-hal di luar batas ketika melihat anak lucu? Semoga untuk selanjutnya tidak ada lagi penyu yang terluka karena kelucuannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H