Mohon tunggu...
Nina Mulya Sari
Nina Mulya Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya suka membuat artikel walaupun masih banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Apa Kabar Inovasi dalam Jurnalisme

29 November 2023   20:10 Diperbarui: 29 November 2023   20:51 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inovasi dalam jurnalistik terus dilakukan oleh industri media hari ini agar mereka tetap relevan dan menjawab kebutuhan masyarakat.

Hari ini jika kita melihat inovasi yang ada dalam dunia jurnalistik, kita merasakan ada sejumlah hal yang menarik.

Siapa pihak yang diuntungkan jika ada inovasi dalam jurnalistik hari ini?

Sejumlah inovasi

Project Multatuli (PM) yang pertengahan tahun ini merayakan satu tahun kehadirannya mulai mendapat tempat dalam masyarakat. Banyak pihak mulai mau menjadi pendukung PM dengan menjadi pelanggan situs berita ini.

Proyek eksperimen ini kita harapkan bisa berumur panjang, dan menghasilkan karya jurnalistik yang berada di luar kompetisi adu cepat menayangkan berita, tetapi lebih menekuni "jurnalisme telaten" (dibahasakan oleh PM sendiri terjemahan dari slow journalism).

Pada Agustus lalu, PM mendapat penghargaan Suardi Tasrif Award untuk karya-karya jurnalistik yang telah dihasilkannya. Jika kita membuka situs mereka, kita akan melihat banyak liputan dari berbagai wilayah Indonesia yang kurang diberi ruang oleh banyak media arus utama.

Di tempat lain kita juga melihat bagaimana media seperti Narasi TV dan program Mata Najwa berani keluar dari sebuah stasiun TV dan bersiaran lewat kanal Youtube-nya.

Kita pun melihat dalam banyak hal produksi Narasi TV ini menarik. Narasi TV pernah menampilkan investigasi dengan mencermati ratusan video yang di-posting di media sosial dan juga mencermati aneka CCTV untuk mengungkap siapa yang membakar halte Transjakarta depan Sarinah menyusul demonstrasi soal UU Cipta Kerja pada Oktober 2020.


Siapa pihak yang diuntungkan jika ada inovasi dalam jurnalistik hari ini? 

Walau tidak teridentifikasi siapa mereka itu, dari apa yang dikemas oleh Narasi TV, kita melihat bahwa ada pengorganisasian pembakaran, jadi bukan bersifat spontan dan tidak dilakukan para demonstran saat itu.

Kompas TV lewat acara Aiman, misalnya, mencoba menggali berbagai sumber yang berhubungan dengan latar belakang peristiwa mengenaskan terkait kematian Brigadir Yoshua Hutabarat pada 8 Juli 2022 yang hingga kini masih terus dibicarakan khalayak.

Banyak info "baru" yang kita dapatkan dari hasil penyelisikan tersebut, sesuatu yang mungkin juga menjadi informasi tambahan di luar informasi resmi yang dikeluarkan instansi-instansi terkait.

Harian Kompas pun tak henti melakukan inovasi, mulai dari jurnalisme data, jurnalisme investigasi, lalu penggarapan NFT atas konten Kompas masa lalu, hingga pengemasan berita dalam bentuk newsgame, dan lain-lain. Majalah Tempo pun terus melakukan inovasi dalam karya-karya jurnalistik yang dihasilkannya. Sejumlah media daring melakukan hal yang sama, misalnya CNN Indonesia yang membuat juga karya immersive journalism.

Sementara itu, KBR sebagai kantor berita radio mengetengahkan investigasi yang ditampilkan secara audio. Serial yang sudah dimulai sejak pertengahan Agustus lalu adalah upaya KBR untuk menguak fenomena nikah anak.

Investigasi bernama "Disclose" ini akan tampil dalam enam episode dan menggambarkan bagaimana pernikahan anak menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi perempuan dan anak di Indonesia, dan pernikahan anak banyak menyetop impian anak untuk meraih pendidikan lebih tinggi, dan juga yang ingin menggapai cita-cita lain yang lebih tinggi.

Di luar negeri kita pun melihat inovasi banyak ditumbuhkan. Bahkan ada penghargaan khusus, misalnya untuk penggarapan jurnalisme data yang dilakukan kelompok Sigma (sigmaawards.org).

Dari situ kita bisa banyak belajar dari berbagai organisasi berita di luar negeri, dan bahwa pada seorang wartawan freelance di India yang banyak menulis masalah penggelapan data kematian semasa pandemi Covid-19 di sejumlah negara bagian India.

Baca juga : "Metaverse" dan Jurnalisme

Jurnalisme yang berubah

Harus dikatakan, memang jurnalisme hari ini banyak berubah. Bagaimana berita dibuat, bagaimana berita dikemas, bagaimana berita didistribusikan, semua mengalami perubahan.

Belum lagi jika melihat bagaimana respons yang diberikan khalayak atas produk berita tersebut. Romantisisme atas kesuksesan media cetak di masa lalu mungkin juga jangan berlebihan ditunjukkan karena hari ini pun ada banyak karya jurnalistik yang bagus walau dikemas dalam bentuk media daring atau media lainnya.

"Surat kabar boleh mati, tapi jurnalisme jangan mati". Itu kutipan kalimat yang saya ingat saat menghadiri seminar Beyond Broadcasting di Universitas California, Los Angeles, pada 2006, saat kata disrupsi baru mulai kita dengar. Kalimat tersebut menjadi makin berarti hari ini karena kita inginkan jurnalisme yang tetap bertahan, bahkan menjadi makin kuat, dan untuk itu kita tidak perlu terpaku pada format-format tertentu saja.

Dari sisi literatur saja perkembangan jurnalisme ini juga menarik. Penulis mengamati, misalnya, literatur soal jurnalisme yang ditulis di Amerika dan Inggris antara tahun 2000 hingga 2010, yang banyak menunjukkan kemurungan. Seolah meratapi jurnalisme yang waktu itu dianggap memudar pengaruhnya, terutama melihat fenomena tutupnya banyak media cetak dan turunnya pendapatan iklan media cetak.

Hal ini mengingatkan penulis akan tiga tahap berpikir ala Van Peursen (1988). Van Peursen menyebutkan tiga tahap berpikir manusia: tahap mitis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. Pemikiran ini bisa direfleksikan dari literatur yang menulis soal perkembangan jurnalisme digital dalam tiga dekade belakangan.

Literatur yang ditulis antara pertengahan 1990-an dan pertengahan 2000-an dapat dikatakan ada dalam tahap mitis, di mana ada kekhawatiran atas fenomena digital dalam jurnalisme, ada ketakutan, karena fenomena ini belum sepenuhnya dipahami.

Kemudian pada akhir dekade pertama abad ke-21 hingga satu dekade kemudian ada upaya untuk lebih memahami fenomena jurnalisme digital ini, menyelami seluk-beluknya, dan juga melihat potensi apa yang dapat dimaksimalkan dari fenomena ini.

Studi-studi pun berkembang dengan pendekatan lintas disiplin, metode baru dan literatur pun makin berkembang. Inilah tahap pemikiran ontologis jika menggunakan cara pikir Van Peursen di atas.

Hari ini literatur dari sumber-sumber tersebut menunjukkan tahap pemikiran yang lebih fungsional, mau memaksimalkan temuan-temuan sebelumnya, sehingga potensi yang dimiliki jurnalisme digital dikembangkan seluas-luasnya.

"Medium is the message" (McLuhan) hari ini bisa dikembangkan menjadi bahkan "Medium is beyond the message". Dari penerbitan jurnal ilmiah pun kita melihat ada kegairahan besar untuk menampilkan banyak hasil penelitian soal jurnalisme digital ini.

Sebagai contoh jurnal Journalism Studies pada tahun 2000 hanya terbit empat kali dalam setahun, kemudian tahun 2015 jurnal yang sama menjadi enam kali dalam setahun, tahun 2016 menjadi delapan kali dalam setahun, tahun 2017 menjadi 12 kali dalam setahun, dan tahun 2021 menjadi 16 kali dalam setahun. Suatu perkembangan yang menakjubkan.

" Medium is the message" (McLuhan) hari ini bisa dikembangkan menjadi bahkan " Medium is beyond the message".

Sementara itu, Lucy Kung, Guru Besar Manajemen Media dari Universitas Jnkping, Swedia, menyebutkan bahwa kunci penting untuk melakukan adaptasi dalam situasi lingkungan yang berubah adalah kreativitas (Strategic Management in the Media, 2008).

Kreativitas adalah motor perubahan dari segala bisnis, dan ide kreatif memberi bahan dasar untuk kemunculan produk baru, ide baru, dan prosedur baru. Produk baru, ide baru, dan prosedur baru adalah fondasi penting bagi organisasi untuk beradaptasi, berkembang, dan berkompetisi.

Siapa yang diuntungkan?

Siapa yang beruntung jika inovasi dalam dunia jurnalistik terus dilakukan? Ada dua pihak minimal: pertama, industri media itu sendiri dan para pihak yang ada di dalamnya; kedua, publik atau khalayak dari media itu.

Media akan terus ada sejauh ia dirasa relevan oleh masyarakat. Ia akan dirasa relevan ketika terus mengangkat hal-hal yang jadi perhatian khalayak. Jadi, tantangan media hari ini adalah bagaimana menjadikannya tetap relevan di tengah masyarakat yang juga berubah.

Masyarakat memang tak mudah ditebak apa maunya, kemauannya selalu berubah, tak beku, cair, terkadang tak punya "kesetiaan" pada suatu isu tertentu, pada merek media tertentu. Namun, khalayak ini tetap manusia yang terus mencari informasi yang mereka butuhkan.

Informasi memang melimpah hari ini. Daya tahan kita untuk menampung semua informasi itu tak ada sehingga lalu ada proses seleksi. Apa yang menyeleksi sangat tergantung karakteristik khalayak itu sendiri. Apakah ia manusia pembelajar, apakah ia manusia yang bergosip belaka, apakah ia manusia yang senang mencela orang lain, apakah ia manusia konsumtif semata, dan lain-lain.

Meski demikian, dari segala informasi yang ada, manusia pasti membutuhkan informasi yang bisa diandalkan. Informasi yang akan membuatnya tak lagi bertanya-tanya, apakah informasi ini benar, apakah informasi ini tidak bias kepentingan tertentu, dan lain-lain. Informasi berkualitas seperti itu memang tak mudah, di tengah gelombang informasi yang terkadang asal-asalan, asal comot, asal viral, atau asal ikut arus.

Inovasi dalam jurnalistik juga harus didukung oleh publiknya, oleh khalayaknya. Oleh karena itu, sudah layak dan sepantasnya jika jurnalisme yang baik harus didukung, dan khalayak tak perlu segan atau kemudian menghindar dari kemungkinan untuk menghargai konten-konten yang baik itu.

Publik perlu mendukung jurnalisme yang baik terus berkembang, karena pada dasarnya jurnalisme yang baiklah yang membuat khalayak bisa bertahan (survive) dalam lingkungan hidup di mana ia tinggal saat ini. Itu salah satu fungsi dasar manusia berkomunikasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun